Selayaknya dia memang harus menyukai dinding. Menatapnya lama-lama seperti memandang kekasih yang baru pulang dari rantaunya. Dinding punya rasa dan ra(h)sia yang iramanya sejalan dengan arah hatinya. Dinding punya warna yang sedikit banyak mampu menyusun kesunyian yang ia genggam. Dalam permukaannya yang abu penuh retakan, dinding seolah berbisik lewat bibirnya yang basah.
"How could you be nothing to me, when everything i want is you with in"
Dan dia tersenyum basah airmata. Dirabanya permukaan yang kasar, butiran halus tersentuh oleh jarinya meninggalkan birahi sanguinis yang sangat purba. Dia tidak lagi merasa perlu bertanya sedalam apa perhatian, sejauh apa perjalanan, selama apa waktu. Dia hanya tahu.
Dinding punya perhatian penuh untuk memahami isyarat selembut dan sehalus apapun yang dia bahasakan. Isyarat kehilangan serupa bisikan puisi
The art of loosing isn't hard to master, though it might look like a disaster.
Selayaknya dia memang harus menyukai dinding. Dinding adalah pendengar yang baik untuk apa yang terucap dan apa yang tidak mampu dia rangkaikan walau dalam satu kata.
"Pandangi saja dinding, sampai kamu sadar aku di sini..."
0 comments:
Post a Comment