Showing posts with label BUKUBUKU. Show all posts
Showing posts with label BUKUBUKU. Show all posts

MENJINAKKAN MAWAR

Pangeran kecil pergi melihat mawar-mawar itu. “Kalian sama sekali tidak seperti mawarku,” katanya kepada mereka. “Kalian tak berarti apa-apa. Tak seorangpun menjinakan kalian, dan kalian tak menjinakan siapa pun.

Dan mawar-mawar itu jadi merasa sangat tidak nyaman.

“Kalian cantik sekali tapi kalian hampa,” dia melanjutkan. “Tak ada orang yang bersedia mati untuk kalian. Tentu saja orang yang sekedar lewat akan mengira mawarku sama dengan kalian. Tetapi mawarku cuma setangkai jauh lebih berarti karena dialah yang kusirami. Karena dialah yang kututup dengan kubah kaca. Karena dialah yang kulindungi dengan tabir. Karena dialah yang kudengarkan, waktu mengeluh atau menyombongkan diri, atau ketika dia cuma diam membisu. Karena dia mawarku.”

Dan pangeran kecil kembali pada Rubah.

“Rahasianya sangat sederhana: Waktu yang telah kau habiskan untuk mawarmulah yang membuat mawarmu begitu penting.”

Rubah kembali berkata pada pangeran kecil
“Kau harus bertanggung jawab selamanya atas apa yang telah kaujinakkan, kau bertanggung jawab atas mawarmu!”

“Aku bertanggung jawab atas mawarku…” ulang pangeran kecil agar ia ingat

Itu adalah bab XXI dari Le Petit Prince tulisan Exupery yang berkali-kali saya baca. Pasti soal cinta, pasti soal jinak-menjinakkan, dan kesenyapan biasanya menohok kita tepat di ulu hati. Membuat setiap bagian dari tubuh meratap-ratap:
Saya ingin sekali dijinakan, saya juga ingin menjinakan. Agar ada yang melihat saya diantara bintang-bintang, agar ada yang menjadi alasan bagi saya untuk memandangi horizon setiap sore dan yakin bahwa dia akan datang, dari arah yang sama dari ufuk yang sama terangnya.
Judul Buku: “BLAKANIS”
Pengarang : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka


Dalam sebuah program kuis pada jaringan TV berlangganan Starworld berjudul “Moments of truth” seorang ditantang untuk menjawab dengan jujur pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya sangat pribadi untuk mendapatkan hadiah 500.000 dolar.

Isi pertanyaannya seperti “Apakah anda pernah berhubungan sex dengan laki-laki lain selain suami anda? Apakah anda pernah berhubungan sex untuk mendapatkan bayaran? Apakah menurut anda suami anda bukanlah pasangan yang tepat buat anda?”. Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dihadapan suami dan keluarga si peserta. Sementara peserta dihubungkan pada mesin Lie Detector. Peserta tentu saja menjawab jujur dengan pamrih 500 ribu dolar, karena jika ketahuan ada indikasi bohong dari lie detector maka hadiah yang dia kumpulkan hangus begitu saja.

Kasus diatas adalah kejujuran yang pamrih, tapi masih mungkinkah di dunia yang sudah sangat tidak jujur ini, orang berlaku jujur tanpa syarat, jujur karena senang berkata jujur, jujur karena memang seharusnya jujur, dan jujur karena terbiasa jujur. Novel Blakanis karangan Mas Wendo ini seperti oase yang menyejukan, menyentil-nyentil kesadaran, dan membangkitkan keinginan untuk menjadi jujur terutama pada diri sendiri. Blaka merupakan cerita fiktif tentang pemukiman yang diisi oleh orang biasa yang tidak biasa berjulukan Ki Blaka penyebar virus jujur. Ki Blaka mengajak tanpa memaksa untuk hidup jujur, dengan apa adanya, hidup dengan Blaka.

Tentunya dalam menuju perbaikan selalu muncul chaos dan order. Misalkan ketika orang diminta untuk menjawab jujur maka jawabannya pasti dapat mengakibatkan guncangan, sakit hati, keretakan hubungan. Tapi pada akhirnya akan muncul keteraturan dan keseimbangan, bahwa kejujuran worth going, worth trying.
Menurutnya jujur begitu sederhana:


Tidak ada tahap untuk menjadi jujur
Mulai, lakukan…
Tidak ada latihan untuk mencapainya
Mulai, lakukan…
Kalau kalian ada yang bisa membuat rumusan, membuat system, metode, cara, yang menurut kalian lebih bagus, itu sangat berarti tapi mulailah dengan kejujuran.


Termasuk dalam hubungan ketuhanan, bagaimana mungkin kita bisa mengatakan kita beriman kepada tuhan kalau tidak memulainya dengan jujur. Jujur dalam setiap sendi kehidupan menyelamatkan pada akhirnya. Buku yang cukup menggelisahkan karena setelah membacanya saya mulai berhitung berapa banyak kebohongan yang saya buat pada akhirnya berbalik membohongi saya. Kebohongan dan kepura-puraan yang memberi dampak menyakitkan bagi umat di seluruh dunia. Rasanya saya perlu belajar banyak dan berusaha keras untuk lebih baik diam daripada berkata dusta.

“Jujur itu seperti bernapas, tak perlu belajar, tak perlu mengatur kapan memulainya, sangat sederhana, semua juga bisa melakukannya”.

Dan saya semakin yakin tak akan pernah berhasil menjadi Blakanis.

BILANGAN FU

JUDUL BUKU: BILANGAN FU
PENGARANG: AYU UTAMI
PENERBIT: KPG
Membaca novel ini, seperti dikembalikan menjadi anak kecil yang buta kata-kata. Sibuk mengartikan apakah kata ’Jirih’- ’Banal’ punya posisi yang bisa disejajarkan dengan kata-kata dalam bahasa indonesia lain yang artinya lebih reaktif. Sensasi yang kurang lebih sama saat saya membaca headline surat kabar LM edisi sabtu 12 juli 08 yang isinya seperti ini:
”AYAH KANDUNG NGEMPRUT ANAK GADISNYA, KAKAKNYA MERGOKIN EH MALAH SI ADIK DIEMPRUT JUGA”.

Kata emprut yang coba saya artikan dengan setubuhi sudah pasti dikarang oleh wartawan berotak tumpul dan sadis tanpa referensi dari manapun. Sementara Ayu tentunya punya banyak referensi kata-kata yang mengajarkan saya sedikit demi sedikit untuk lebih terbuka pada kata-kata baru dan hal-hal baru yang membuat saya Jirih (saya menggunakan terminologinya), membentur-benturkan kesadaran, menjungkirbalikkan keyakinan yang pada akhirnya membuat saya mual dan ingin memuntahkan makian.

Memang sejak awal membaca, pikiran saya seharusnya dibebaskan lebih dulu dari prasangka akan niatan si penulis. Tapi Ayu menurut saya terlalu iblis sekaligus malaikat untuk menulis tanpa tendensi. Sehingga saya terkapar , mengaku kalah dan babak belur prejudice. Saya sudah terlanjur memberi nilai sebelum saya memahami. Saya sudah terlanjur membayangkan bahwa Bibir penulis adalah seringai anjing, tubuh penulis adalah tunas-tunas iblis dan otak pembaca adalah inangnya.

Bilangan Fu adalah bilangan yang ingin ditanam oleh Ayu (tanpa dipaksakan) dalam benak pembacanya untuk dipikirkan ulang. Dia bukan hanya sebuah bilangan tapi ideologi. Ideologi yang terlihat begitu benar untuk dipanggul sekaligus begitu salah untuk diterapkan.
Dan saya tidak sanggup memanggul kebenaran, Jadi jangan salahkan kalau dalam beberapa minggu ke depan pikiran saya akan lebih terganggu dengan bentuk otak Ayu saat orgasme daripada bentuk.....Itil-kuda-laut misalnya.
---Ngobrol-ngobrol detik bareng ayu soal bilangan fu (seriusnyaaaa?) bisa di liat di sini---