NEGERI GAJAH PUTIH

‘Dengan seribu gunung langit tak runtuh
Dengan seribu perawan hati tak jatuh
Dengan seribu sibuk sepi tak mati
Dengan seribu beringin angin tak teduh
Dengan siapa aku mengeluh?’

Sungai Chao Praya sepertinya tidak peduli dengan kemacetan kota Bangkok. Seperti sungai Seine di Paris atau Thames-nya London. Sengaja saya hindari jalan raya langsung bersampan dari jembatan Krung Thep menuju pusat kota Bangkok. Macet, panas, kotor banyak pencopet (hehe seperti kembali ke tanah air), rumah paman saya masih sekitar tiga blok lagi dari dermaga Thon Buri (baca domburi), saya bayar tiket perahu 15 Baht, dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Saya bingung bagian mana Thailand yang eksotis, disana-sini hanya terlihat billboard berbahasa Thailand atau kadang berbahasa cina, semrawut seperti di pasar Tanah Abang. Untungnya sampai juga saya di depan rumah paman saya setelah beberapa kali menelpon menanyakan arah jalan.
“Sampai juga Gil!” Adik ibu saya ini memang memanggil saya dengan nama kecil saya ‘Ragil’ yang artinya bungsu. Sambil mengangguk saya cium tangan paman saya. Dia masih seperti tiga tahun yang lalu. Tinggi besar dengan hidung yang mancung, sudah hampir sebelas tahun paman tinggal di negeri gajah putih ini, anaknya yang pertama seumuran saya namanya Anggito, lalu Bram dan yang terakhir yang baru di khitan namanya Seto dia tiduran di kamarnya. Paman saya menikah dengan wanita Thailand yang saat ini sedang menemani Seto yang tertidur pulas. Chranrani namanya sebelum memeluk agama islam, kini namanya berganti menjadi Zahra.
“Hard ya finding this place, you know bangkok is crowd, full people lah, untung sampai. Why bother refuse your uncle to pick you up from the airport?” dengan bahasa inggris bercampur aduk Tante Zahra sibuk meladeni saya dan mengeluarkan berbagai masakan yang sudah dia siapkan sejak tadi.
“I wanted to see Bangkok, every one told me that Bangkok is such an eksotic place, I had to see that. I thought it would be a great idea to get here by myself…hehe im a grown up man, I have visited almost half of the world!” sambil nyengir bajing saya mencomot kue kacang hijau yang dibungkus dengan semacam agar-agar berbentuk buah. Hmm enak.
“Jangan sombong, banyak loh yang nyasar disini jadi sasaran preman” Paman melirik jamnya, mungkin memikirkan Gito dan Bram yang sejak tadi belum saya lihat batang hidungnya.”Bunda sehat kan? lebaran kemarin om nggak sempat mampir ke Jakarta!” saya hanya mengangguk mengiyakan.
Percakapan terus berlanjut sampai datang Bram dan Gito yang langsung sibuk memeluk saya dan menanyakan oleh-oleh. Langsung saya keluarkan segala macam titipan ibu saya dan langsung istirahat. Perjalanan saya memang lumayan jauh dari Brunei ke Kuala Lumpur baru ke Bangkok. Malam ini rencananya Gito akan mengajak saya jalan-jalan keliling kota Bangkok.
Saya masih merasa terdampar disini, bahasanya sama sekali tidak saya mengerti. Untungnya Gito selalu berusaha menerjemahkan setiap tulisan yang banyak menempel di pinggir-pinggir jalan. Bangunan tinggi bergaya ultramodern bisa kita lihat di kiri kanan jalan yang sangat kontras berdampingan dengan kuil kecil berwarna keemasan. Mayoritas penduduk Thailand memang beragama Budha yang cukup taat, sehingga mereka membangun bermacam-macam kuil di sini. Seperti kuil Wat Arun yang tingginya 70 Meter, serta kuil Wat Po yang indah sekali. Didalamnya kita bisa menemukan patung Budha raksasa berlapis emas setinggi, dan bertatahkan mutiara.
“Kalau yang di ujung sana ada Chinatown Mas!”Gito menunjuk sambil menyetir mobilnya. “Tempatnya bagus, banyak makanan enak!”.
“Kalau mau jalan bisa parkir mobil kan Git?”
“Bisa, memang lebih enak berjalan kaki sih!” Gito langsung memarkirkan mobilnya di sebuah pertokoan yang lumayan luas. Sementara Bram yang tidur dibelakang mobil terbangun sambil mengucek matanya. Bram pakai baju khas Thailand, lucu juga semacam Ceong Sam tapi warnanya lebih lembut, saya mau beli baju seperti itu nanti buat oleh-oleh.
Melewati Chinatown ala Bangkok ini di malam hari kita tidak hanya di suguhi gemerlap lampu yang menawan, tapi juga pemandangan unik khas Chinatown. Orang-orang asik menikmati makanan mereka. Penjual menawarkan beraneka ragam barang dagangannya. Langsung deh dengan tidak terkendali saya langsung berbelanja. Sementara Bram hanya bisa tertawa-tawa saja. Bram memang tidak lancar berbahasa Indonesia, bahasa inggrisnya pun cuma sepotong-sepotong, jadi kadang saya menggunakan bahasa tarzan untuk berkomunikasi dengannya. Keluar dari chinatown kami meneruskan perjalanan ke pusat kota Bangkok. Nah ini yang seru di kiri-kanan jalan mulai muncul makhluk nocturnal jadi-jadian istilahnya Ladyboy (waria). Waria di sini cantik-cantik, ada yang seperti Sophia Latjuba, Desy Ratnasari atau Lucy liu.
“Waria disini beda sama di Jakarta Mas, mereka di hormati bahkan punya gedung pertunjukan sendiri yang selalu penuh setiap harinya di Pattaya namanya Alcazar!” Gito menerangkan melihat saya yang terheran-heran mengamati waria yang berpakaian minim sekali dan mengalungkan bunga ke setiap turis yang lewat.
“Mereka itu jual diri juga nggak Git?”
“Iya juga, tapi banyakan enggaknyai, dalam artian lebih banyak yang menciptakan ide-ide kreatif, memilih jadi penyanyi, model iklan, bahkan bintang televisi” Dalam hati saya jadi teringat bintang iklan salah satu produk shampoo yang merupakan miss waria asal Thailand. Satu lagi perbedaan di Thailand tidak ada yang mengatakan waria itu aneh mereka merupakan pemandangan biasa yang ada di setiap sendi kehidupan. Ada salah seorang waria yang bernama Nataya yang merupakan salah satu top model di sana dan tidak ada pengaruhnya terhadap image produk tuh. Coba bayangkan kalau di Indonesia, mana mungkin waria secantik apapun jadi model iklan sabun kecantikan. Hehe jadi ngelantur. Tulisan kali ini memang hanya cerita perjalanan saya saja, tidak ada topik yang ingin saya bahas. Lagipula liburan kok mikirin yang rumit-rumit, lebih baik menikmati suasana bukan?.
Besok saya kembali ke Jakarta meninggalkan berbagai cerita yang tidak bisa semuanya saya tulis, tapi pasti membekas di hati saya. sebuah cerita tentang sungai Chao Praya yang malam ini berkabut seperti kabut yang turun dari puncak Jayawijaya yang kadang turun sampai Wamena. Sementara sinar bulan memberi warna keemasan pada riak air, memberi salam pada sampan yang sudah tertambat, kuil terapung dan sesaji beraneka bunga. Gudang yang kayunya telah lapuk dimakan usia seperti ingin berkata pada saya yang sedang terduduk di dermaga kayu.

‘Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai
Mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai
Mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai
Mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai
Kau tahu?’*)

*)Puisi Batu Seno Gumira

0 comments: