Dok, Semalam bermimpi peri, sayap-sayapnya terikat batang bambu dan lengannya terkulai. Itu debu-debu gemerlapan mengapa di sia-siakan di kakinya. Katanya pertanda kebebasan sudah bukan milik manusia biasa. jadi wajar saja waktu terbangun keringat membanjiri bantal dan dokter tidak tahu. Tangan ini yang mengusapnya, menghentikan titiknya, meniupkan sejuknya, tangan ini juga yang terluka oleh bambu di sayapnya.
Dok, semalam bermimpi peri, sayap-sayapnya diremuk seribu sembilu. Barangkali mimpi hanya takdir dan keinginan hanyalah dongeng dewa-dewa. Sehingga apa yang terungkap tidak pernah apa yang diharap. lalu kita sama-sama menjadi pecundang bagi keinginan kita sendiri. Mana yang benar? Mana yang boleh dilukai, mana yang akhirnya boleh dihancurkan selain perasaan. Tangan ini yang membalut lukanya, menghentikan darahnya, menentramkan perihnya, tangan ini juga yang terluka oleh sembilu dibadannya.
Dok, benarkah cinta hanya utopia? Mengapa tidak ditebarkan saja cinta secara acak, agar masing-masing jiwa bebas memilih untuk tidak memilih. Ada peri yang iri pada sensualitas daun-daun, dirabanya payudara pepohonan, dicumbunya angin, diperkosanya rerumputan. Apa yang dia dapat? Selain rasa lapar yang semakin lapar menghujam lambungnya yang hijau (aku membenci kerakusan---kerakusan membumihanguskan matahari). Barangkali cinta memang bukan utopia, dia ada! hanya saja... tidak memiliki durasi yang sama dengan hati kita. Dokter tahu kan? Bercinta itu memang seperti membuat rundown acara, tidak memerlukan keterangan, hanya perlu dirasakan, dan kita gagal merasakannya.
Dok, barangkali peri itu yang bermalam-malam menginap di kepala kita, yang sayapnya terikat, yang tubuhnya berdarah, yang batinnya tersayat.
Cintanya kebingungan,
bingungnya kesakitan,
sakitnya ditebarkan,
aku yang merasakan,
Semoga dokter yang menyembuhkan
0 comments:
Post a Comment