“One, two, three…breathe…, six, four, five, breathe… come on don’t be lazy...! Low impact, high impact.. wave your hands then fold them around your neck. Breathe…!”
Suara instruktur asal singapura di depan, berkejaran dengan lagu ‘My Heart Will Go On’ yang di remix sedemikian rupa sehingga terdengar sangat norak sekali. Sementara dengan peluh menjagung peserta aerobic mengikuti gerakan sang instruktur yang terus memberi instruksi dengan bahasa inggris-mandarin nya yang sama remixnya dengan lagu Celine Dion tadi. Didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat…didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat….terus saya ulang slogan tersebut dalam hati, sambil berharap rasa letih bisa diatasi sedikit demi sedikit..
“Bent U ziek?”
The Dutchman (bukan mafia tapi orang belanda asli namanya meneer Jan) di sebelah saya bertanya, dengan sedikit prihatin. Mungkin dia melihat wajah saya yang agak pucat. Dengan sedikit menahan mual saya duduk untuk istirahat sejenak sambil mengelap keringat dan meminum equil yang saya bawa dari rumah.
“Ik voel me niet goed,”
“Waar doet het pijn?
Meneer Jan duduk menghampiri saya sambil menyodorkan cheese cake (hehe pantes perutnya tetap gendut, mau olahraga kok bawa kue banyak banget). Saya menolak lagipula buat apa olahraga kalau langsung makan, tidak bagus buat badan. Tapi mata saya benar-benar berkunang-kunang, beginilah kalau mau olahraga tanpa persiapan. Baru tidur pukul dua dini hari, pulang nonton midnite, paginya bangun dan langsung ke gym yang isinya penuh dengan orang dari berbagai bangsa. Hmm gym ini lumayan mewah sih buat ukuran saya, letaknya di hotel bintang limadi Jakarta. Biaya keanggotaannya saja seperempat gaji saya sebulan.
“Ik been duizelig, ik heb niet goed geslapen vannacht!”
dengan suara setengah pingsan saya jawab sambil melirik cheese cake yang langsung ditelan meneer Jan. aduh nyesel deh tadi nolak, kelihatannya yummy.
“Het is gevaarlijk, you should take a rest!”
Meneer Jan mengacak-acak rambut saya, kemudian melompat2 kembali mengikuti gerakan sang instruktur, perutnya yang gendut ikut bergoyang menyembul dari kaos hijau army bertuliskan Kadet 09. Niat saya untuk meneruskan berolahraga hilang karena sakit di kepala saya. Langsung saya bereskan tas dan berjalan menuju kamar ganti.
Di dalam mobil saya mencoba menelusuri urutan kejadian bagaimana saya bisa menjadi maniak olahraga. Senin dan Rabu latihan yoga pukul delapan malam, Selasa badminton bareng teman-teman kantor, Jumat Tae bo sekitar 1 jam dan minggu pagi fitness di Gym yang sebelumnya didahului dengan aerobic. Aktivitas yang padat memaksa saya supaya tetap fit dengan cara berolahraga, ditambah lagi penampilan yang bugar terlihat lebih menarik, walaupun badan saya tetap kering kerontang tapi sehat, lagipula teman-teman saya keren-keren jadi minder kalau kelihatannya tidak bugar begitu. Pokoknya segala trend olahraga saya coba. Dari yang aneh-aneh sampai yang standar seperti badminton tadi (sebetulnya semuanya berawal dari gengsi sih, kok teman-teman bisa nyoba gym yang mahal kenapa saya tidak?, lalu dari segi bisnis banyak kenalan, loby dan tender yang bisa didapat dari teman-teman satu gym…hehe tetap jualan).
“Makannya…olahraga sih olahraga tapi yang wajar dong! masa semuanya dicoba. Kaya orang nganggur aja, lagian kamu itu kan sibuk jadinya malah sakit! Emang nya enak kerjaan jadi numpuk, harus stay di rumah..bla..bla..!” Omongan ikan-ikan hiu didepan saya terus bersaut-sautan menyalahkan saya yang kena gejala tifus gara-gara kecapean. Beginilah kalo jadi anak lelaki satu-satunya dikeluarga…semuanya wanita dan jago ngomong…that’s why i called them sharks.
“Loh didalam tubuh yang sehat kan terdapat jiwa yang kuat!”
saya mencoba membantah lagi-lagi dengan suara setengah pingsan. Sementara dengan sedikit kasar one of my sister menarik thermometer dari mulut saya.
“Jiwa yang kuat darimana? Kalo jatohnya malah sakit kaya begini?bukannya gak rela ngurusin, tapi kita kan jadi kuatir kalo elo kenapa-kenapa! Pake segala belajar anggar emang mo jadi zorro?”
“Iya nih…maen badminton kok nggak kenal waktu, liat aja tim Thomas dan uber kita kalah buat apa sih bela-belain latihan badminton, dasar kecentilan!” Keponakan saya (lagi-lagi cewek)juga ikut-ikutan menyerang saya habis-habisan, kalau dipikir-pikir kenapa kamar saya jadi ramai begini yah…jadi tambah pusing deh.
“Yee apa hubungannya ama tim Thomas n Uber?”
“Kenapa musti dihubung-hubungin? Emang rel kereta? Pokoknya kamu sakit tuh cari gara-gara sendiri!”
kali ini ibu saya yang menyerang, sambil menyuapi bubur yang rasanya kok jadi pahit sekali ya?
“ya udah sana pada pergi deh…jadi tambah pusing tahu… kalo rame begini!”
Akhirnya saya berteriak dengan sisa-sisa kekuatan yang saya miliki. Semuanya berhamburan keluar kamar dengan wajah tetap menyalahkan.
“Obatnya jangan lupa diminum!”
kali ini pacar saya yang memberi pesan-pesan terakhir. Sebelum menutup pintu kamar yang terbuat dari kayu mahoni yang diserut.
Akhirnya kamar saya agak sedikit lebih tenang, memberi saya waktu untuk menghayal lagi. Pengin punya badan kaya Rambo kok malah jadi tergeletak begini. Tubuh itu memang perlu kita jaga dengan segala upaya, karena tubuh dititipkan Tuhan untuk dijaga jasmani dan rohani. Tapi segala sesuatu itu ada batasannya tidak boleh berlebihan dan tidak boleh kekurangan, Sambil tersenyum sendiri saya menarik selimut warna biru kuning, dan menepuk bantal agar nyaman. Didekat pintu kamar ada boneka troll seperti mengejek saya yang terbaring tidak berdaya. Di atas lemari saya pajang celana dalam yang sengaja tidak pernah saya pakai. Celana dalam yang saya beli seharga Rp. 442.000,- (hello?) itu memang satu-satunya barang Prada yang saya miliki. Walaupun hanya celana dalam at least di rancang oleh Muccia Prada (hehe). Memikirkan hal itu saya jadi bisa tersenyum lagi. Nanti-nanti kalau Meneer Jan bilang “Dat is te duur!”, saya bisa jawab deh…
“Ik weet , but at least dit is van mij…hehehe!
Jakarta
16 Juni 04
Berakit-rakit ke hulu bersenam-senam di senayan..yuuuk mariiii!....
*Bent U ziek?: Are You Sick?* Ik voel me niet goed: I don’t feel so good* Waar doet het pijn: where does it hurt?*Ik been duizelig, ik heb niet goed geslapen vannacht: I feel kinda dizzy, I don’t sleep well last night* Het is gevaarlijk: it is dangerous*Dat is te duur: That’s too expensive*Ik weet : I know*Dit is van mij: It’s mine
RHAPSODY IN D MINOR
Demi tuhan Frans, kamu ingatkan sisa perjalananku waktu itu? Tinggal pasir Arafah kemudian suhu yang panas melelehkan isi kepala. Tidak lagi membatu, sisa wudhu, ibadah malam, berlari kecil antara Shafa –Marwa, lalu batu kehitaman dari surga. Dia menciptakan sesempurna itu. Bahkan pasir yang basah embun masih terasa lembut di kakiku. Aku memang melihatnya sejelas cahaya yang dipancarkan pada rantai laba-laba waktu pagi. Demi tuhan, kita tidak berarti apa-apa. Dan apapun itu yang kamu bilang sangat berarti tidak lagi punya arti selain aku mengecil dan pasrah dalam genggamannya.
‘ Kamu meninggalkan aku!’ seribu malaikat runtuh, mata birumu bermuara
‘Kamu menyakitiku!’ sejuta badai membumi lantak, mata birumu menjatuhkan hujan
Wajah, gambar, topeng, kanvas, aku dan kamu di seberang. Duduk di kursi kayu (ukiran jogja, aku yang membelinya tahun lalu) menjura diatasnya. Ah..prasangka! bukankah kita juga yang membeli dan memberi nilai bagi apapun menurut standar kita? Lalu siapa yang adil memberi patokan antara berbuat baik dan berbuat benar? Apakah kita berdua disini, di apartemen ini yang sesungguhnya sudah terlalu sibuk menduga siapa yang harusnya memulai persenggamaan otak. Kamu dengan penuh gairah mencumbui bayanganku atau aku yang membalas dengan kecupan, jilatan, hembusan nafas lidah basahmu pada kalbuku?. Kita sama-sama memberi arti dan nilai yang sampai kapanpun tidak akan pernah adil. Kita senggama, kita sengsara...
Frans, badanmu menggigil tetapi basah oleh keringat (kamu marah), aku membeku. Tidak lagi kulihat kebijakan Aristoteles di wajahmu. Padahal kita diajarkan menjadi pemikir yang mengagungkan silogisma dan premis-premis murni yang punya sebab dan akibat. Di luar itu biar saja alam yang mengatur, bukankah Dia ada sebelum semuanya ada? Dan Dia akan tetap ada waktu kita sudah membangkai. Lalu apa artinya semua yang kita anggap penuh arti jika pemberi arti membuat semua yang Dia fana-kan tidak berarti. Aku menggigil dan sekarang kamu membeku.
‘Tuhanku juga Tuhanmu’
Frans, aku tak lagi menginginkan ini. Bahkan sejujurnya aku tidak pernah menginginkan ini selain segala keindahan yang kamu dengung-dengungkan ke telingaku. Berujung sebuah getaran hebat yang dengan angkuhnya kita beri nama cinta. Sementara aku dan kamu bersijingkat, berkucing-kucingan dengan yang maha baik, bahkan saling membelakangi surga di lingkungannya yang berwarna-neka. Demi tuhan kita bergulat pada pemikiran yang bahkan tidak pernah ada dan itu sama artinya dengan berdusta. Siapa yang mendusta dan apa yang didustakan? Kita terpaku-kita membeku
Aku letih, bolehkah untuk sejenak saja atau mungkin selamanya kuhentikan gerakku, menoreh padatkan sedikit saja kebenaran pada sebagian jejak langkahku. Atau memohon ampun lewat doa-doa yang sudah lama tidak terjawab. Dan aku tetap memegang tanganmu, menuntunmu ke tempat yang indahnya sama dan sebangun. Aku yakin kita punya gerak yang sama dan tuhan yang sama untuk meminta. Tak pernah lagi kuhalalkan kamu menjamah selain mushaf indah di meja kerjaku (dan bukannya aku marah). Tak pernah lagi kuhalalkan kamu mencium selain sajadah di ruang tamuku (dan bukannya aku marah), tak pernah lagi ku halalkan kamu memeluk selain hangat cahaya-Nya(dan bukannya aku marah), tak pernah lagi kuhalalkan kamu memuja dan merayu selain dzikir yang mengingat-Nya (dan tidak pernah karena aku marah). Hidup memang belum pernah sejujur ini dalam membalas tapi sakitnya nyata, jauh lebih nyata dari rasa sakit yang kamu bilang kamu rasakan.
Frans, jika dalam kehidupan seribu atau sejuta tahun dari sekarang kita masih tercipta dalam sebuah atom karbon atau molekul lain yang jumlahnya tidak terhitung (dan itu pasti karena rahmat-Nya) aku ingin berterima kasih dan bersyukur karena pernah bertemu ciptaannya yang hampir sempurna yaitu dirimu dan itu pasti. Mata birumu kan tidak pernah berbohong? Lalu kita sama-sama menyanyikan shalawat badar atau mendengungkan puji-pujian selaksa lebah bahkan langit pun bergetar. Lalu aku melihatmu berjalan dalam bentuk lain, rambutmu yang pirang keemasan tertiup angin, berada di barisan orang-orang yang bersyukur dan berhati bersih. Terdengar doa anak-anak kecil yang kamu beri pengobatan gratis. Korban banjir dan tsunami yang kamu tampung dan tanpa jijik kamu obati klukanya yang setengah mengoreng. Kemudian semuanya tersenyum padamu yang tidak pernah tuli dan tidak juga bisu merasakan kesulitannya. Kalau kamu berada di barisan itu aku juga ingin di dalamnya. Kamu mengerti bukan?
‘Tapi kamu meninggalkanku!’ bibirmu bergetar saat mengucap menahan ratap, (bahkan aku tak pernah berniat meninggalkanmu). Lalu kita terdampar di sini, di apartemen ini, sibuk merangkai kekalutan masing-masing. Kamu diam dan aku membeku
‘Tuhan hati kami bersenggama’
Dan aku runtuh menarik kopor penuh pakaian, kemudian melangkah melewati pintu tak akan pernah kuketuk lagi. Aku tahu mata birumu berurai tangis. Dan keindahan itu jauh lebih Indah jika artinya benar-benar memiliki arti dari yang maha memberi arti. Hari memang tidak pernah seindah ini, tapi kenapa aku yang harus lebih dulu membeku..
(Maat taufik ya nurul aini...allah wa yubarrik fik
Juni 03 2004
‘ Kamu meninggalkan aku!’ seribu malaikat runtuh, mata birumu bermuara
‘Kamu menyakitiku!’ sejuta badai membumi lantak, mata birumu menjatuhkan hujan
Wajah, gambar, topeng, kanvas, aku dan kamu di seberang. Duduk di kursi kayu (ukiran jogja, aku yang membelinya tahun lalu) menjura diatasnya. Ah..prasangka! bukankah kita juga yang membeli dan memberi nilai bagi apapun menurut standar kita? Lalu siapa yang adil memberi patokan antara berbuat baik dan berbuat benar? Apakah kita berdua disini, di apartemen ini yang sesungguhnya sudah terlalu sibuk menduga siapa yang harusnya memulai persenggamaan otak. Kamu dengan penuh gairah mencumbui bayanganku atau aku yang membalas dengan kecupan, jilatan, hembusan nafas lidah basahmu pada kalbuku?. Kita sama-sama memberi arti dan nilai yang sampai kapanpun tidak akan pernah adil. Kita senggama, kita sengsara...
Frans, badanmu menggigil tetapi basah oleh keringat (kamu marah), aku membeku. Tidak lagi kulihat kebijakan Aristoteles di wajahmu. Padahal kita diajarkan menjadi pemikir yang mengagungkan silogisma dan premis-premis murni yang punya sebab dan akibat. Di luar itu biar saja alam yang mengatur, bukankah Dia ada sebelum semuanya ada? Dan Dia akan tetap ada waktu kita sudah membangkai. Lalu apa artinya semua yang kita anggap penuh arti jika pemberi arti membuat semua yang Dia fana-kan tidak berarti. Aku menggigil dan sekarang kamu membeku.
‘Tuhanku juga Tuhanmu’
Frans, aku tak lagi menginginkan ini. Bahkan sejujurnya aku tidak pernah menginginkan ini selain segala keindahan yang kamu dengung-dengungkan ke telingaku. Berujung sebuah getaran hebat yang dengan angkuhnya kita beri nama cinta. Sementara aku dan kamu bersijingkat, berkucing-kucingan dengan yang maha baik, bahkan saling membelakangi surga di lingkungannya yang berwarna-neka. Demi tuhan kita bergulat pada pemikiran yang bahkan tidak pernah ada dan itu sama artinya dengan berdusta. Siapa yang mendusta dan apa yang didustakan? Kita terpaku-kita membeku
Aku letih, bolehkah untuk sejenak saja atau mungkin selamanya kuhentikan gerakku, menoreh padatkan sedikit saja kebenaran pada sebagian jejak langkahku. Atau memohon ampun lewat doa-doa yang sudah lama tidak terjawab. Dan aku tetap memegang tanganmu, menuntunmu ke tempat yang indahnya sama dan sebangun. Aku yakin kita punya gerak yang sama dan tuhan yang sama untuk meminta. Tak pernah lagi kuhalalkan kamu menjamah selain mushaf indah di meja kerjaku (dan bukannya aku marah). Tak pernah lagi kuhalalkan kamu mencium selain sajadah di ruang tamuku (dan bukannya aku marah), tak pernah lagi ku halalkan kamu memeluk selain hangat cahaya-Nya(dan bukannya aku marah), tak pernah lagi kuhalalkan kamu memuja dan merayu selain dzikir yang mengingat-Nya (dan tidak pernah karena aku marah). Hidup memang belum pernah sejujur ini dalam membalas tapi sakitnya nyata, jauh lebih nyata dari rasa sakit yang kamu bilang kamu rasakan.
Frans, jika dalam kehidupan seribu atau sejuta tahun dari sekarang kita masih tercipta dalam sebuah atom karbon atau molekul lain yang jumlahnya tidak terhitung (dan itu pasti karena rahmat-Nya) aku ingin berterima kasih dan bersyukur karena pernah bertemu ciptaannya yang hampir sempurna yaitu dirimu dan itu pasti. Mata birumu kan tidak pernah berbohong? Lalu kita sama-sama menyanyikan shalawat badar atau mendengungkan puji-pujian selaksa lebah bahkan langit pun bergetar. Lalu aku melihatmu berjalan dalam bentuk lain, rambutmu yang pirang keemasan tertiup angin, berada di barisan orang-orang yang bersyukur dan berhati bersih. Terdengar doa anak-anak kecil yang kamu beri pengobatan gratis. Korban banjir dan tsunami yang kamu tampung dan tanpa jijik kamu obati klukanya yang setengah mengoreng. Kemudian semuanya tersenyum padamu yang tidak pernah tuli dan tidak juga bisu merasakan kesulitannya. Kalau kamu berada di barisan itu aku juga ingin di dalamnya. Kamu mengerti bukan?
‘Tapi kamu meninggalkanku!’ bibirmu bergetar saat mengucap menahan ratap, (bahkan aku tak pernah berniat meninggalkanmu). Lalu kita terdampar di sini, di apartemen ini, sibuk merangkai kekalutan masing-masing. Kamu diam dan aku membeku
‘Tuhan hati kami bersenggama’
Dan aku runtuh menarik kopor penuh pakaian, kemudian melangkah melewati pintu tak akan pernah kuketuk lagi. Aku tahu mata birumu berurai tangis. Dan keindahan itu jauh lebih Indah jika artinya benar-benar memiliki arti dari yang maha memberi arti. Hari memang tidak pernah seindah ini, tapi kenapa aku yang harus lebih dulu membeku..
(Maat taufik ya nurul aini...allah wa yubarrik fik
Juni 03 2004
NEGERI GAJAH PUTIH
‘Dengan seribu gunung langit tak runtuh
Dengan seribu perawan hati tak jatuh
Dengan seribu sibuk sepi tak mati
Dengan seribu beringin angin tak teduh
Dengan siapa aku mengeluh?’
Sungai Chao Praya sepertinya tidak peduli dengan kemacetan kota Bangkok. Seperti sungai Seine di Paris atau Thames-nya London. Sengaja saya hindari jalan raya langsung bersampan dari jembatan Krung Thep menuju pusat kota Bangkok. Macet, panas, kotor banyak pencopet (hehe seperti kembali ke tanah air), rumah paman saya masih sekitar tiga blok lagi dari dermaga Thon Buri (baca domburi), saya bayar tiket perahu 15 Baht, dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Saya bingung bagian mana Thailand yang eksotis, disana-sini hanya terlihat billboard berbahasa Thailand atau kadang berbahasa cina, semrawut seperti di pasar Tanah Abang. Untungnya sampai juga saya di depan rumah paman saya setelah beberapa kali menelpon menanyakan arah jalan.
“Sampai juga Gil!” Adik ibu saya ini memang memanggil saya dengan nama kecil saya ‘Ragil’ yang artinya bungsu. Sambil mengangguk saya cium tangan paman saya. Dia masih seperti tiga tahun yang lalu. Tinggi besar dengan hidung yang mancung, sudah hampir sebelas tahun paman tinggal di negeri gajah putih ini, anaknya yang pertama seumuran saya namanya Anggito, lalu Bram dan yang terakhir yang baru di khitan namanya Seto dia tiduran di kamarnya. Paman saya menikah dengan wanita Thailand yang saat ini sedang menemani Seto yang tertidur pulas. Chranrani namanya sebelum memeluk agama islam, kini namanya berganti menjadi Zahra.
“Hard ya finding this place, you know bangkok is crowd, full people lah, untung sampai. Why bother refuse your uncle to pick you up from the airport?” dengan bahasa inggris bercampur aduk Tante Zahra sibuk meladeni saya dan mengeluarkan berbagai masakan yang sudah dia siapkan sejak tadi.
“I wanted to see Bangkok, every one told me that Bangkok is such an eksotic place, I had to see that. I thought it would be a great idea to get here by myself…hehe im a grown up man, I have visited almost half of the world!” sambil nyengir bajing saya mencomot kue kacang hijau yang dibungkus dengan semacam agar-agar berbentuk buah. Hmm enak.
“Jangan sombong, banyak loh yang nyasar disini jadi sasaran preman” Paman melirik jamnya, mungkin memikirkan Gito dan Bram yang sejak tadi belum saya lihat batang hidungnya.”Bunda sehat kan? lebaran kemarin om nggak sempat mampir ke Jakarta!” saya hanya mengangguk mengiyakan.
Percakapan terus berlanjut sampai datang Bram dan Gito yang langsung sibuk memeluk saya dan menanyakan oleh-oleh. Langsung saya keluarkan segala macam titipan ibu saya dan langsung istirahat. Perjalanan saya memang lumayan jauh dari Brunei ke Kuala Lumpur baru ke Bangkok. Malam ini rencananya Gito akan mengajak saya jalan-jalan keliling kota Bangkok.
Saya masih merasa terdampar disini, bahasanya sama sekali tidak saya mengerti. Untungnya Gito selalu berusaha menerjemahkan setiap tulisan yang banyak menempel di pinggir-pinggir jalan. Bangunan tinggi bergaya ultramodern bisa kita lihat di kiri kanan jalan yang sangat kontras berdampingan dengan kuil kecil berwarna keemasan. Mayoritas penduduk Thailand memang beragama Budha yang cukup taat, sehingga mereka membangun bermacam-macam kuil di sini. Seperti kuil Wat Arun yang tingginya 70 Meter, serta kuil Wat Po yang indah sekali. Didalamnya kita bisa menemukan patung Budha raksasa berlapis emas setinggi, dan bertatahkan mutiara.
“Kalau yang di ujung sana ada Chinatown Mas!”Gito menunjuk sambil menyetir mobilnya. “Tempatnya bagus, banyak makanan enak!”.
“Kalau mau jalan bisa parkir mobil kan Git?”
“Bisa, memang lebih enak berjalan kaki sih!” Gito langsung memarkirkan mobilnya di sebuah pertokoan yang lumayan luas. Sementara Bram yang tidur dibelakang mobil terbangun sambil mengucek matanya. Bram pakai baju khas Thailand, lucu juga semacam Ceong Sam tapi warnanya lebih lembut, saya mau beli baju seperti itu nanti buat oleh-oleh.
Melewati Chinatown ala Bangkok ini di malam hari kita tidak hanya di suguhi gemerlap lampu yang menawan, tapi juga pemandangan unik khas Chinatown. Orang-orang asik menikmati makanan mereka. Penjual menawarkan beraneka ragam barang dagangannya. Langsung deh dengan tidak terkendali saya langsung berbelanja. Sementara Bram hanya bisa tertawa-tawa saja. Bram memang tidak lancar berbahasa Indonesia, bahasa inggrisnya pun cuma sepotong-sepotong, jadi kadang saya menggunakan bahasa tarzan untuk berkomunikasi dengannya. Keluar dari chinatown kami meneruskan perjalanan ke pusat kota Bangkok. Nah ini yang seru di kiri-kanan jalan mulai muncul makhluk nocturnal jadi-jadian istilahnya Ladyboy (waria). Waria di sini cantik-cantik, ada yang seperti Sophia Latjuba, Desy Ratnasari atau Lucy liu.
“Waria disini beda sama di Jakarta Mas, mereka di hormati bahkan punya gedung pertunjukan sendiri yang selalu penuh setiap harinya di Pattaya namanya Alcazar!” Gito menerangkan melihat saya yang terheran-heran mengamati waria yang berpakaian minim sekali dan mengalungkan bunga ke setiap turis yang lewat.
“Mereka itu jual diri juga nggak Git?”
“Iya juga, tapi banyakan enggaknyai, dalam artian lebih banyak yang menciptakan ide-ide kreatif, memilih jadi penyanyi, model iklan, bahkan bintang televisi” Dalam hati saya jadi teringat bintang iklan salah satu produk shampoo yang merupakan miss waria asal Thailand. Satu lagi perbedaan di Thailand tidak ada yang mengatakan waria itu aneh mereka merupakan pemandangan biasa yang ada di setiap sendi kehidupan. Ada salah seorang waria yang bernama Nataya yang merupakan salah satu top model di sana dan tidak ada pengaruhnya terhadap image produk tuh. Coba bayangkan kalau di Indonesia, mana mungkin waria secantik apapun jadi model iklan sabun kecantikan. Hehe jadi ngelantur. Tulisan kali ini memang hanya cerita perjalanan saya saja, tidak ada topik yang ingin saya bahas. Lagipula liburan kok mikirin yang rumit-rumit, lebih baik menikmati suasana bukan?.
Besok saya kembali ke Jakarta meninggalkan berbagai cerita yang tidak bisa semuanya saya tulis, tapi pasti membekas di hati saya. sebuah cerita tentang sungai Chao Praya yang malam ini berkabut seperti kabut yang turun dari puncak Jayawijaya yang kadang turun sampai Wamena. Sementara sinar bulan memberi warna keemasan pada riak air, memberi salam pada sampan yang sudah tertambat, kuil terapung dan sesaji beraneka bunga. Gudang yang kayunya telah lapuk dimakan usia seperti ingin berkata pada saya yang sedang terduduk di dermaga kayu.
‘Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai
Mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai
Mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai
Mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai
Kau tahu?’*)
*)Puisi Batu Seno Gumira
Dengan seribu perawan hati tak jatuh
Dengan seribu sibuk sepi tak mati
Dengan seribu beringin angin tak teduh
Dengan siapa aku mengeluh?’
Sungai Chao Praya sepertinya tidak peduli dengan kemacetan kota Bangkok. Seperti sungai Seine di Paris atau Thames-nya London. Sengaja saya hindari jalan raya langsung bersampan dari jembatan Krung Thep menuju pusat kota Bangkok. Macet, panas, kotor banyak pencopet (hehe seperti kembali ke tanah air), rumah paman saya masih sekitar tiga blok lagi dari dermaga Thon Buri (baca domburi), saya bayar tiket perahu 15 Baht, dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Saya bingung bagian mana Thailand yang eksotis, disana-sini hanya terlihat billboard berbahasa Thailand atau kadang berbahasa cina, semrawut seperti di pasar Tanah Abang. Untungnya sampai juga saya di depan rumah paman saya setelah beberapa kali menelpon menanyakan arah jalan.
“Sampai juga Gil!” Adik ibu saya ini memang memanggil saya dengan nama kecil saya ‘Ragil’ yang artinya bungsu. Sambil mengangguk saya cium tangan paman saya. Dia masih seperti tiga tahun yang lalu. Tinggi besar dengan hidung yang mancung, sudah hampir sebelas tahun paman tinggal di negeri gajah putih ini, anaknya yang pertama seumuran saya namanya Anggito, lalu Bram dan yang terakhir yang baru di khitan namanya Seto dia tiduran di kamarnya. Paman saya menikah dengan wanita Thailand yang saat ini sedang menemani Seto yang tertidur pulas. Chranrani namanya sebelum memeluk agama islam, kini namanya berganti menjadi Zahra.
“Hard ya finding this place, you know bangkok is crowd, full people lah, untung sampai. Why bother refuse your uncle to pick you up from the airport?” dengan bahasa inggris bercampur aduk Tante Zahra sibuk meladeni saya dan mengeluarkan berbagai masakan yang sudah dia siapkan sejak tadi.
“I wanted to see Bangkok, every one told me that Bangkok is such an eksotic place, I had to see that. I thought it would be a great idea to get here by myself…hehe im a grown up man, I have visited almost half of the world!” sambil nyengir bajing saya mencomot kue kacang hijau yang dibungkus dengan semacam agar-agar berbentuk buah. Hmm enak.
“Jangan sombong, banyak loh yang nyasar disini jadi sasaran preman” Paman melirik jamnya, mungkin memikirkan Gito dan Bram yang sejak tadi belum saya lihat batang hidungnya.”Bunda sehat kan? lebaran kemarin om nggak sempat mampir ke Jakarta!” saya hanya mengangguk mengiyakan.
Percakapan terus berlanjut sampai datang Bram dan Gito yang langsung sibuk memeluk saya dan menanyakan oleh-oleh. Langsung saya keluarkan segala macam titipan ibu saya dan langsung istirahat. Perjalanan saya memang lumayan jauh dari Brunei ke Kuala Lumpur baru ke Bangkok. Malam ini rencananya Gito akan mengajak saya jalan-jalan keliling kota Bangkok.
Saya masih merasa terdampar disini, bahasanya sama sekali tidak saya mengerti. Untungnya Gito selalu berusaha menerjemahkan setiap tulisan yang banyak menempel di pinggir-pinggir jalan. Bangunan tinggi bergaya ultramodern bisa kita lihat di kiri kanan jalan yang sangat kontras berdampingan dengan kuil kecil berwarna keemasan. Mayoritas penduduk Thailand memang beragama Budha yang cukup taat, sehingga mereka membangun bermacam-macam kuil di sini. Seperti kuil Wat Arun yang tingginya 70 Meter, serta kuil Wat Po yang indah sekali. Didalamnya kita bisa menemukan patung Budha raksasa berlapis emas setinggi, dan bertatahkan mutiara.
“Kalau yang di ujung sana ada Chinatown Mas!”Gito menunjuk sambil menyetir mobilnya. “Tempatnya bagus, banyak makanan enak!”.
“Kalau mau jalan bisa parkir mobil kan Git?”
“Bisa, memang lebih enak berjalan kaki sih!” Gito langsung memarkirkan mobilnya di sebuah pertokoan yang lumayan luas. Sementara Bram yang tidur dibelakang mobil terbangun sambil mengucek matanya. Bram pakai baju khas Thailand, lucu juga semacam Ceong Sam tapi warnanya lebih lembut, saya mau beli baju seperti itu nanti buat oleh-oleh.
Melewati Chinatown ala Bangkok ini di malam hari kita tidak hanya di suguhi gemerlap lampu yang menawan, tapi juga pemandangan unik khas Chinatown. Orang-orang asik menikmati makanan mereka. Penjual menawarkan beraneka ragam barang dagangannya. Langsung deh dengan tidak terkendali saya langsung berbelanja. Sementara Bram hanya bisa tertawa-tawa saja. Bram memang tidak lancar berbahasa Indonesia, bahasa inggrisnya pun cuma sepotong-sepotong, jadi kadang saya menggunakan bahasa tarzan untuk berkomunikasi dengannya. Keluar dari chinatown kami meneruskan perjalanan ke pusat kota Bangkok. Nah ini yang seru di kiri-kanan jalan mulai muncul makhluk nocturnal jadi-jadian istilahnya Ladyboy (waria). Waria di sini cantik-cantik, ada yang seperti Sophia Latjuba, Desy Ratnasari atau Lucy liu.
“Waria disini beda sama di Jakarta Mas, mereka di hormati bahkan punya gedung pertunjukan sendiri yang selalu penuh setiap harinya di Pattaya namanya Alcazar!” Gito menerangkan melihat saya yang terheran-heran mengamati waria yang berpakaian minim sekali dan mengalungkan bunga ke setiap turis yang lewat.
“Mereka itu jual diri juga nggak Git?”
“Iya juga, tapi banyakan enggaknyai, dalam artian lebih banyak yang menciptakan ide-ide kreatif, memilih jadi penyanyi, model iklan, bahkan bintang televisi” Dalam hati saya jadi teringat bintang iklan salah satu produk shampoo yang merupakan miss waria asal Thailand. Satu lagi perbedaan di Thailand tidak ada yang mengatakan waria itu aneh mereka merupakan pemandangan biasa yang ada di setiap sendi kehidupan. Ada salah seorang waria yang bernama Nataya yang merupakan salah satu top model di sana dan tidak ada pengaruhnya terhadap image produk tuh. Coba bayangkan kalau di Indonesia, mana mungkin waria secantik apapun jadi model iklan sabun kecantikan. Hehe jadi ngelantur. Tulisan kali ini memang hanya cerita perjalanan saya saja, tidak ada topik yang ingin saya bahas. Lagipula liburan kok mikirin yang rumit-rumit, lebih baik menikmati suasana bukan?.
Besok saya kembali ke Jakarta meninggalkan berbagai cerita yang tidak bisa semuanya saya tulis, tapi pasti membekas di hati saya. sebuah cerita tentang sungai Chao Praya yang malam ini berkabut seperti kabut yang turun dari puncak Jayawijaya yang kadang turun sampai Wamena. Sementara sinar bulan memberi warna keemasan pada riak air, memberi salam pada sampan yang sudah tertambat, kuil terapung dan sesaji beraneka bunga. Gudang yang kayunya telah lapuk dimakan usia seperti ingin berkata pada saya yang sedang terduduk di dermaga kayu.
‘Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai
Mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai
Mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai
Mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai
Kau tahu?’*)
*)Puisi Batu Seno Gumira
MUSICHOLIC
Lagu First Cut is the Deepest menghentak dari tape mobil dalam perjalanan menuju bandara Soekarno Hatta. Lagu yang merupakan remake ulang dari Rod Stewart itu dinyanyikan kembali oleh Sheryl Crow, sedikit berbeda nuansa tapi tetap enak didengar. Ingat lagu ini saya jadi ingat almarhum ayah saya yang sering kali memainkan lagu ini dengan gitar warna birunya. Hmm…akhirnya saya bisa cuti juga setelah dilimpahi badai pekerjaan berminggu-minggu. Jadilah saya jalan-jalan sendirian dengan Espass merah menuju bandara. Rencananya sampai disana langsung berangkat dengan Qantas menuju Changi airport, flight jam 10.30, sekarang pukul 07.00 masih banyak sisa waktu untuk menyetir pelan-pelan. Sambil menyetir saya nikmati suasana jalan yang masih basah embun. Lagu di tape mobil saya sudah berganti dengan Lost In Space nya Lighthouse Family.
‘Musik itu mempengaruhi suasana hati’
Benar sekali, coba apa yang kita bayangkan sewaktu mendengar lagu Careless Whisper-nya kelompok musik Wham, kalau saya sih pasti mengharu biru dan terhanyut dalam suasana romantis. Langsung deh kenangan-kenangan masa lalu membanjiri otak saya. Atau sewaktu menikmati lagu-lagunya Macy Gray, biasanya timbul stimuli yang merangsang semangat untuk membuat cerita-cerita baru dan melupakan rasa sakit hati (ceilee)yang pernah muncul dalam pikiran saya. Setiap orang pasti punya lagu tema yang mewakili suasana hatinya. Nah lagu tema itu selalu saya ganti setiap akhir bulan. Misalnya bulan ini saya lagi pengin sendiri, males dengerin lagu cinta-cintaan, semua CD yang ada di mobil saya pun saya ganti dengan lagu-lagu yang agak satir dan sinis memandang cinta.
‘Life is a bitch and then you die!’
Hehe kok perih banget sih lagunya?
Sebetulnya tidak seperih lagu itu sih…hanya saja seru juga yah pencipta lagu itu. Jangan-jangan lagi bosen hidup terus daripada iseng-iseng minum Baygon mending menciptakan lagu hehe. Pernah denger lagu I Don’t Wanna Wait dari paula cole dong…nah boleh dibilang suasana hati saya lebih seperti itu saat ini. Tidak ingin menunggu…mumpung masih muda, masih ada kesempatan buat menikmati hidup, saya putuskan untuk ambil cuti. Rencananya mau ke Singapura, Brunei, dan tujuan terakhir adalah Bangkok, sekalian menjenguk paman saya yang anaknya mau di khitan di sana.
- Bandara
- Menitipkan mobil
- Menunggu waktu boarding sambil makan Oreo dan minum segelas kopi
- Masuk pesawat
- 2 jam…
- Changi…here I come
Tujuan pertama saya adalah Esplanade Theatre, sore ini akan ada pementasan tari dari salah satu grup tari China. Kalau tidak salah namanya Pou Cin Dance. Bicara soal tari tidak lepas dari musik juga, seperti penampilan grup tari di depan saya. mereka menggabungkan musik klasik dengan instrumen band rock yang agak aneh didengar telinga. Tapi lama-lama lumayan juga, mereka memainkan Symphony no. 40 nya Mozart di ornamentasikan dengan gebukan drum dan lengkingan gitar yang menyayat hati. Sementara Blue Danube dan Eine dimainkan hanya dengan suling dan sitar tapi iramanya penuh dan saling mengisi. Saya bayangkan seandainya Fur Eliz atau Turkish march yang dibuat seperti ini pasti saya bisa ikutan menari dari tempat duduk saya yang adanya di tribun atas. My heart starts beating… stepping in… then thump!thump!thump…hell im in the middle of nowhere, no friend, enjoy the music, the dance, distinctive feeling, whatever! I’m supercalifragilisticexpialidociously happy! .
‘Komposer itu orang paling jenius di dunia’
Kita lihat saja bagaimana mereka menciptakan musik yang mempengaruhi suasana hati manusia. Dan mengubah suasana hati seseorang itu adalah pekerjaan jenius sejati. Siapa sangka sebuah master piece Yanni yang berjudul Santorini dibuat hanya dalam waktu seperempat jam alias lima belas menit?. Padahal dari komposisi tersebut kita bisa merasakan hawa keindahan negeri asalnya Yunani. Kaldera hijau yang membentuk pulau kecil jauh di sudut negeri zeus. Kuil Parthenon, Hyptherion, Cronos dan Apollo di Delphi sebuah Aufklarung (pencerahan), atau notasi santorini yang melambat pada coda justru mengingatkan saya akan perjalanan menuju acropolis dan amphitheater yang maha indah itu (setahun yang lalu saya bersama teman-teman sempat mengunjungi Athena…dan hanya satu kenangan terburuk, what a lousy food they had).
‘Don’t hear the song but see the singer’
Sebuah ungkapan yang kurang lebih artinya jangan dengar apa yang dibicarakan tapi lihat siapa yang berbicara. Ungkapan dan artinya dua-duanya complitely unright buat saya. Saya tidak pernah peduli siapa penyanyinya kalau lagu itu enak didengar maka akan saya dengarkan. Bahkan sampai saat ini pun saya tetap mendengarkan lagu dangdut atau keroncong. Lagu Jeritan Hati nya Mirnawati atau Pacar Dunia Akherat dari Rita Sugiarto seringkali menjadi lagu tema saya di beberapa kesempatan. Di dalam tas sayapun ada CD album the best Sundari Sukotjo yang selalu saya setel menjelang tidur. Betapa hangat dan tenangnya pikiran saya saat mendengar lagu Bengawan Solo atau Pahlawan Merdeka ciptaan bapak Gesang.
It’s the music and it colours my heart…
Seperti halnya rasa-rasa yang lain musik itu selalu mewarnai jiwa saya bahkan menjadi bahaya laten (seperti Partai Komunis di jaman orde baru saja). Bagaimana tidak bahaya jika saya tiba-tiba bernyanyi sendirian di saat meeting dengan klien dan tanpa disadari seluruh orang di ruangan memandang ke arah saya. biasanya saya pura-pura tidak peduli sambil tersenyum dan melanjutkan lagu saya dengan suara yang agak lebih pelan. Mau bagaimana lagi? Saya kan senang bernyanyi?. Kalau ada anugerah siapa orang paling jenius didunia saya pasti akan memasukan Einstein di urutan ke-dua. Mengapa? Karena yang nomer satu pastinya Norah Jones. Hehe dia itu paduan kecantikan Diana Krall, kelembutan Sade, kejeniusan Charlie Parker dan keimutan Sherly Temple. Sah-sah saja bukan? Seperti halnya kita semua bebas memilih siapa yang paling mewarnai hidup kita atau lagu apa yang memberi perubahan dalam diri kita.
Besok saya ke Brunei dan di pinggir Orchard Road saya duduk menikmati kopi pahit dengan bagel yang besar sekali. Malampun semakin turun dan silau lampu billboard di sepanjang jalan seperti menjanjikan hidup yang berbeda warna setiap harinya. Dari Juke Box terdengar lagu, godamt! Kenapa harus lagu patah hati ya? Kan sudah saya bilang saya tidak suka cinta-cintaan!
My heart is drenched in wine…
But you’ll be on my mind…forever
Something has to make you run
Don't know why I didn’t come…Feel as empty as a drum
Don’t know why I didn’t come…
Maret 05 2004
‘Musik itu mempengaruhi suasana hati’
Benar sekali, coba apa yang kita bayangkan sewaktu mendengar lagu Careless Whisper-nya kelompok musik Wham, kalau saya sih pasti mengharu biru dan terhanyut dalam suasana romantis. Langsung deh kenangan-kenangan masa lalu membanjiri otak saya. Atau sewaktu menikmati lagu-lagunya Macy Gray, biasanya timbul stimuli yang merangsang semangat untuk membuat cerita-cerita baru dan melupakan rasa sakit hati (ceilee)yang pernah muncul dalam pikiran saya. Setiap orang pasti punya lagu tema yang mewakili suasana hatinya. Nah lagu tema itu selalu saya ganti setiap akhir bulan. Misalnya bulan ini saya lagi pengin sendiri, males dengerin lagu cinta-cintaan, semua CD yang ada di mobil saya pun saya ganti dengan lagu-lagu yang agak satir dan sinis memandang cinta.
‘Life is a bitch and then you die!’
Hehe kok perih banget sih lagunya?
Sebetulnya tidak seperih lagu itu sih…hanya saja seru juga yah pencipta lagu itu. Jangan-jangan lagi bosen hidup terus daripada iseng-iseng minum Baygon mending menciptakan lagu hehe. Pernah denger lagu I Don’t Wanna Wait dari paula cole dong…nah boleh dibilang suasana hati saya lebih seperti itu saat ini. Tidak ingin menunggu…mumpung masih muda, masih ada kesempatan buat menikmati hidup, saya putuskan untuk ambil cuti. Rencananya mau ke Singapura, Brunei, dan tujuan terakhir adalah Bangkok, sekalian menjenguk paman saya yang anaknya mau di khitan di sana.
- Bandara
- Menitipkan mobil
- Menunggu waktu boarding sambil makan Oreo dan minum segelas kopi
- Masuk pesawat
- 2 jam…
- Changi…here I come
Tujuan pertama saya adalah Esplanade Theatre, sore ini akan ada pementasan tari dari salah satu grup tari China. Kalau tidak salah namanya Pou Cin Dance. Bicara soal tari tidak lepas dari musik juga, seperti penampilan grup tari di depan saya. mereka menggabungkan musik klasik dengan instrumen band rock yang agak aneh didengar telinga. Tapi lama-lama lumayan juga, mereka memainkan Symphony no. 40 nya Mozart di ornamentasikan dengan gebukan drum dan lengkingan gitar yang menyayat hati. Sementara Blue Danube dan Eine dimainkan hanya dengan suling dan sitar tapi iramanya penuh dan saling mengisi. Saya bayangkan seandainya Fur Eliz atau Turkish march yang dibuat seperti ini pasti saya bisa ikutan menari dari tempat duduk saya yang adanya di tribun atas. My heart starts beating… stepping in… then thump!thump!thump…hell im in the middle of nowhere, no friend, enjoy the music, the dance, distinctive feeling, whatever! I’m supercalifragilisticexpialidociously happy! .
‘Komposer itu orang paling jenius di dunia’
Kita lihat saja bagaimana mereka menciptakan musik yang mempengaruhi suasana hati manusia. Dan mengubah suasana hati seseorang itu adalah pekerjaan jenius sejati. Siapa sangka sebuah master piece Yanni yang berjudul Santorini dibuat hanya dalam waktu seperempat jam alias lima belas menit?. Padahal dari komposisi tersebut kita bisa merasakan hawa keindahan negeri asalnya Yunani. Kaldera hijau yang membentuk pulau kecil jauh di sudut negeri zeus. Kuil Parthenon, Hyptherion, Cronos dan Apollo di Delphi sebuah Aufklarung (pencerahan), atau notasi santorini yang melambat pada coda justru mengingatkan saya akan perjalanan menuju acropolis dan amphitheater yang maha indah itu (setahun yang lalu saya bersama teman-teman sempat mengunjungi Athena…dan hanya satu kenangan terburuk, what a lousy food they had).
‘Don’t hear the song but see the singer’
Sebuah ungkapan yang kurang lebih artinya jangan dengar apa yang dibicarakan tapi lihat siapa yang berbicara. Ungkapan dan artinya dua-duanya complitely unright buat saya. Saya tidak pernah peduli siapa penyanyinya kalau lagu itu enak didengar maka akan saya dengarkan. Bahkan sampai saat ini pun saya tetap mendengarkan lagu dangdut atau keroncong. Lagu Jeritan Hati nya Mirnawati atau Pacar Dunia Akherat dari Rita Sugiarto seringkali menjadi lagu tema saya di beberapa kesempatan. Di dalam tas sayapun ada CD album the best Sundari Sukotjo yang selalu saya setel menjelang tidur. Betapa hangat dan tenangnya pikiran saya saat mendengar lagu Bengawan Solo atau Pahlawan Merdeka ciptaan bapak Gesang.
It’s the music and it colours my heart…
Seperti halnya rasa-rasa yang lain musik itu selalu mewarnai jiwa saya bahkan menjadi bahaya laten (seperti Partai Komunis di jaman orde baru saja). Bagaimana tidak bahaya jika saya tiba-tiba bernyanyi sendirian di saat meeting dengan klien dan tanpa disadari seluruh orang di ruangan memandang ke arah saya. biasanya saya pura-pura tidak peduli sambil tersenyum dan melanjutkan lagu saya dengan suara yang agak lebih pelan. Mau bagaimana lagi? Saya kan senang bernyanyi?. Kalau ada anugerah siapa orang paling jenius didunia saya pasti akan memasukan Einstein di urutan ke-dua. Mengapa? Karena yang nomer satu pastinya Norah Jones. Hehe dia itu paduan kecantikan Diana Krall, kelembutan Sade, kejeniusan Charlie Parker dan keimutan Sherly Temple. Sah-sah saja bukan? Seperti halnya kita semua bebas memilih siapa yang paling mewarnai hidup kita atau lagu apa yang memberi perubahan dalam diri kita.
Besok saya ke Brunei dan di pinggir Orchard Road saya duduk menikmati kopi pahit dengan bagel yang besar sekali. Malampun semakin turun dan silau lampu billboard di sepanjang jalan seperti menjanjikan hidup yang berbeda warna setiap harinya. Dari Juke Box terdengar lagu, godamt! Kenapa harus lagu patah hati ya? Kan sudah saya bilang saya tidak suka cinta-cintaan!
My heart is drenched in wine…
But you’ll be on my mind…forever
Something has to make you run
Don't know why I didn’t come…Feel as empty as a drum
Don’t know why I didn’t come…
Maret 05 2004