DINDING

Selayaknya dia memang harus menyukai dinding. Menatapnya lama-lama seperti memandang kekasih yang baru pulang dari rantaunya. Dinding punya rasa dan ra(h)sia yang iramanya sejalan dengan arah hatinya. Dinding punya warna yang sedikit banyak mampu menyusun kesunyian yang ia genggam. Dalam permukaannya yang abu penuh retakan, dinding seolah berbisik lewat bibirnya yang basah.
"How could you be nothing to me, when everything i want is you with in"
Dan dia tersenyum basah airmata. Dirabanya permukaan yang kasar, butiran halus tersentuh oleh jarinya meninggalkan birahi sanguinis yang sangat purba. Dia tidak lagi merasa perlu bertanya sedalam apa perhatian, sejauh apa perjalanan, selama apa waktu. Dia hanya tahu.
Dinding punya perhatian penuh untuk memahami isyarat selembut dan sehalus apapun yang dia bahasakan. Isyarat kehilangan serupa bisikan puisi
The art of loosing isn't hard to master, though it might look like a disaster.
Selayaknya dia memang harus menyukai dinding. Dinding adalah pendengar yang baik untuk apa yang terucap dan apa yang tidak mampu dia rangkaikan walau dalam satu kata.
"Pandangi saja dinding, sampai kamu sadar aku di sini..."

APORISMA

Guru boleh kencing bediri, murid juga boleh kencing berlari (Ini demokrasi)
yang tidak boleh murid mengencingi guru (itu namanya anarki)
sudah tau bedanya kan?
kamu toh gak stupid-stupid amat...

PACAR

Pacar, Kamu genit menyapaku saat ku lengah minta dipacari. Kamu senang menipuku dengan kata-kata rindu dan cinta yang aku suka. Seperti anak kecil yang mendapatkan balon warna kemudian diam-diam melepaskannya ke udara.
Seperti itulah kamu. Gas Helium dalam balon yang mudah kuterbangkan biar terbawa angin. Saat aku bosan warnanya, saat aku lelah memegangnya, saat aku malas menggenggam talinya. dan dikejauhan ibu menawarkan es krim vanilla di panas peluh.
Seperti itu
Sungguh

RAMBUT

Rambutku mulai rontok. Bukan salah shampoo bukan juga karena sakit panas. Rambutku mungkin terlalu lelah hidup di kepalaku yang tinggal setengah jarak menuju awal penciptaannya.
Untuk kemudian didaur ulang menjadi pohon kelapa dan mayangnya.

ANAK PERAWAN

Aku rasa pepatah anak perawan tidak boleh duduk di depan pintu, nanti berat jodoh, sudah sangat oldies dan gak valid sama sekali. Bukannya ingin melangkahi segala pemali. Tapi coba jaman sekarang apa masih ada (anak) perawan?. Kalaupun ada mereka lebih suka duduk di depan mall daripada duduk di depan pintu.
Jadi lebih bagus pepatah itu diganti dengan "Anak mo perawan ataupun (gak) perawan tidak boleh duduk di pangkuan om-om". Karena... gak perlu dijelaskan kalian juga sudah tahulah...

GAMBAR

Aku lagi senang menggambar. Cukup pakai pensil saja biar lebih dramatis. Tarikan garis pensil yang hitam putih membuat mataku lebih mudah mencari celah mana yang harus diarsir dan efek sedalam apa yang aku inginkan. Menggambar sudah menjadi ekstasi murah meriah untuk melupakan waktu dan durasi yang akhir-akhir ini sering menipuku dengan segala tingkahnya dalam mengejar dan memintaku untuk merasa "tua". Hell no way time, tua bagiku cuma tanda hitam -putih di rambutku saja seperti guratan pensil gambarku di atas kertas.
Aku ingin menggambar Mu.
Mengarsir kangen, menggores kenangan, memulas doa dan membentuk Kamu. Menggambar Mu serupa mencabuti jarum satu persatu yang telah tertanam di tubuhku. Jika kutarik garis terlalu keras dan tegas, maka kamu membuatku yakin kamu tidak seperti itu. Kamu kan Maha Pengasih.
Jika kutarik garis terlalu halus, hampir tidak kentara, aku jadi malah tambah yakin kamu tidak seperti itu. Wong ayat-ayatMu begitu jelas membekas di hatiku. Jadi, dari sudut mana aku harus memulai?
Apakah aku harus berhenti menggambarMu karena tak mungkin?
Kamu mungkin obyek tersulit yang pernah aku gambar, hmm tentu saja mana mungkin kita menggambar subjek?.

Aku adalah apa yang hambaku prasangkakan terhadapKu

Akhir-akhir ini aku merasa semakin suka menggambar. Menggambari zat Mu yang ada di setiap penciptaanku, kemanusiaanku, Kemakhluk Tuhananku

Pesta

Pesta telah usai…tinggal asap lilin dan bau hangus terbakar. Sementara senja diam-diam mengamati, menunggu saat yang tepat mengabrasi waktu yang berulat serupa daun.

“ Selamat senja Tuan… Sudahkah Anda mencintai diri sendiri?”

Dari jendela kereta yang berembun, kupandangi wajah-wajah rumput. Angin yang menggembala debu dan peron-peron berbangku lusuh bercerita tentang sajak-sajak air mata yang rindu, bahagia, kesumat, cair dan membara

Pesta telah usai…Sementara senja mengulurkan tiket dipelupuk mataku,

"Untuk membayar kerinduan yang mengental dan menebal!" katanya.

Senyumnya beku seperti martir yang terbiasa susah. Pantaslah wajahnya berkantung, rona gelap pias berkerumun dimatanya. Aku mencoba menafsirkan tasbih, mengumpulkan kekuatan. Padahal keyakinan hanya ada dalam satu kalimat yang kuulang-gumamkan.

Tinggal tiga stasiun lagi...tinggal tiga stasiun lagi...

Berlalu sepi menampar wajahku lagi.