KOTAK PANDORA

Seperti lorong di Montmartre bulan Agustus. Tidak panas. Orang-orang pergi naik trem. Kekacauan bukan hanya dalam otak. Terompet dikumandangkan menziarahi, dan semangati orang-orang memanjat ke puncak menara Sacre Coeur. Kopi ringan dan bisikan manis darimu sehangat Tuhan bersabda.
“Semalam kamu telanjang!”, sambil bersih-bersih apartemen. Sementara di luar Edna menyuapi anaknya yang merindukan salju.
“Namaku Montell” suara itu keluar dari bibir mungilnya memainkan ludah. Tidak tahu dia hari ini harga minyak naik lagi dan alat tukar bukan lagi uang melainkan harga diri.
“Aku masih anak-anak”, saya juga masih anak-anak, atau paling tidak menolak untuk dewasa. Seperti kamu yang terlalu sibuk meneliti dan mencari obat yang lebih murah untuk HIV. Lagipula sisa musim dingin tahun lalu daunnya masih tersisa di saku mantelku. Berujar-ujar dan berharap-harap cemas.
“Frans,
Rama dhan nanti aku ingin hijrah!”, jauh dari bibirku yang panas menguap-uap. Membisikan kata untukmu yang terbuai-buai dalam gendonganku.
“Bersamamu…”, kamu tertegun seperti Montell yang baru melihat piramida kaca Louvre. Padahal isinya cuma kenangan, katanya jendela dunia.
“Maksudmu eksodus?” kamu bertanya, hello? Adakebocoran nuklir lagi di Chernobyl, mereka bilang karena gempa, padahal nuklir penting untuk listrik. Tapi aku rela bergelap-gelap di malam hari. Membayangkan anak-anakku menjadi mutan karena radiasi.
“Frans, hayo bangun…ini Jakarta!”
yang kemarin kita lihat ada bendera merah putihnya dikibarkan. Aku ngungun berkata. Seperti festival musim dingin di tempatmu. Main ice skating di suhu minus sebelas menyenangkan. Atau kita susuri jalan di sekitar Arc’ de Triomphe, katamu indah. Aku ingin tengadah dan orang berlalu lalang cemburu melihat ku mencumbu tanganmu harum Cassablanca Pour Homme. Kamu tidak menjawab melainkan tanganmu membelai-belai. Ini rambutku setengah menua karena abad.
Orang-orang mengantri sepertinya beras dan aku mengantri tiket opera seharga seratus dolar, bisa untuk makan orang satu blok. Atau beli buku pelajaran buat anak-anak Sekolah Dasar yang ditipu mafia guru dan percetakan. Kamu ada disampingku dan itu cukup untuk sisa musim kemarau ini. Paling tidak Jakarta jadi tidak terlalu sumpek dan aku tidak kehabisan nafas karena ada nafas buatanmu.
“Frans, aku mau hijrah, itu membersihkan hati dan pikiranku!” (lagipula hidup kan bukan cuma untuk bergaul dengan pisau bedah, thermometer, atau VTR di editing room). Aku mau jadi seekor burung, aku mau jadi patung Liberty, akau mau jadi pohon pinus di basah gerimis yang menampung harum udara di Rue des Alouettes atau sekedar Chardonnay yang menetes di basah nafasmu. Seorang anak kecil diperkosa ayah kandungnya. Itu baru kekejaman yang sinis. Padahal baru saja kamu menangis dibahuku karena anak ayam yang mati terlindas gerobak sampah. Itu baru kekejaman. Sekarang tak lagi ada, yang ada hanya bahu yang rapuh letih menahan beban yang bernama hidup.
Kita sendirian.
Frans, aku tinggalkan kotak itu dalam tubuhmu semalam. Segala hantu berhamburan. 500 meter dari bahasa yang dengan senang hati aku campakkan. Selangit, megatruh jatuh membingkai pelan-pelan. Dan aku tertegun berpohon maaf , hijrah ini aku yakin bukan yang ke seribu sekian kalinya.
Maaf

April 22 2003

0 comments: