Manakah yang lebih jelas terdengar, suara kereta menembus malam dalam perjalanan kita ke Flemington, atau harapanmu tentang saya?. Saya masih ingat jaket velvet yang kamu lingkarkan di bahu saya, waktu itu dingin hampir membekukan sungai Yarra dan kita berdua terdampar
di Collin Street.
“Drink up your coffee, we’ve better get hurry or we shall miss the bus!” Wajahmu sedingin puncak cartenz,
“I don’t want to go!” Hati saya sepucat bulan awal November.
“We must” Kamu memaksa
“Even i don’t need us to go anywhere” Saya membeku
“I leave you here…” kamu berdiri menatap saya beberapa milidetik, kemudian berlalu meninggalkan saya dengan rokok dan sisa kebingungan.
“It's my f***birthday!! leave me anywhere, i don’t care...”
Manakah yang lebih jelas terdengar waktu itu, suara saya atau ambisimu? Kita berdua tak mengerti sehari itu kita bersama tak hampir menghampiri. Dan sekarang tiba-tiba kamu ada didepan saya, ribuan kilometer jaraknya dari tempat terakhir kita bertemu. Apa yang harus saya katakan? Bukankah kamu yang memutuskan untuk meninggalkan saya di tempat itu? Bahkan Melbourne utara tidak pernah bertanya apakah saya akan kembali atau tidak (not a way, too much pain).
“This should be the best time to forgive each other” Kamu berharap, sepertinya maaf
“Ramadhan?” saya mendongakkan kepala, sepertinya alis saya terangkat tinggi-tinggi
“What else” kamu menundukkan wajah
“Apa yang harus dimaafkan?” saya mengulur waktu
“You tell me” kamu tersenyum
“I forgive you, but i can't forget”. Kamu yang meninggalkan saya, apa yang kamu harapkan? Kamu pikir malam itu saya bisa pulang dan tertidur lelap?. Sisa dolar di jaket saya langsung saya belikan tiket pulang ke Jakarta besoknya.
Membawa sekeranjang penuh kebingungan, perasaan ditinggalkan, kebencian, dan kesedihan, kesedihan bahwa saya belum pernah diperlakukan serendah itu.
Manakah yang lebih jelas terdengar kebencian saya atau Ramadhan yang seharusnya penuh maaf? Saya tidak tahu, bolehkah memaafkan tanpa harus melupakan bahwa seseorang pernah menyakiti kita? Saya benar-benar bingung. Saya mencoba mencari-cari ketulusan lewat matamu, danau itu masih ada disana, dulu sangat menyenangkan menyelaminya dalam udara hangat musim panas Victoria.
“Happy Birthday, I miss you, forgive me…” Kamu berharap, matamu berurai kasih sayang
“Thanks, I forgive you, leave me alone…” Saya mematung,
Dan hati saya jadi lebih jelas terdengar, menimbulkan echo di udara…
Kamu membeku.
Ah hati yang tak mau memberi, mampus saja kau dikoyak-koyak sepi (Chairil Anwar)
Oktober 2006
0 comments:
Post a Comment