“One, two, three…breathe…, six, four, five, breathe… come on don’t be lazy...! Low impact, high impact.. wave your hands then fold them around your neck. Breathe…!”
Suara instruktur asal singapura di depan, berkejaran dengan lagu ‘My Heart Will Go On’ yang di remix sedemikian rupa sehingga terdengar sangat norak sekali. Sementara dengan peluh menjagung peserta aerobic mengikuti gerakan sang instruktur yang terus memberi instruksi dengan bahasa inggris-mandarin nya yang sama remixnya dengan lagu Celine Dion tadi. Didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat…didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat….terus saya ulang slogan tersebut dalam hati, sambil berharap rasa letih bisa diatasi sedikit demi sedikit..
“Bent U ziek?”
The Dutchman (bukan mafia tapi orang belanda asli namanya meneer Jan) di sebelah saya bertanya, dengan sedikit prihatin. Mungkin dia melihat wajah saya yang agak pucat. Dengan sedikit menahan mual saya duduk untuk istirahat sejenak sambil mengelap keringat dan meminum equil yang saya bawa dari rumah.
“Ik voel me niet goed,”
“Waar doet het pijn?
Meneer Jan duduk menghampiri saya sambil menyodorkan cheese cake (hehe pantes perutnya tetap gendut, mau olahraga kok bawa kue banyak banget). Saya menolak lagipula buat apa olahraga kalau langsung makan, tidak bagus buat badan. Tapi mata saya benar-benar berkunang-kunang, beginilah kalau mau olahraga tanpa persiapan. Baru tidur pukul dua dini hari, pulang nonton midnite, paginya bangun dan langsung ke gym yang isinya penuh dengan orang dari berbagai bangsa. Hmm gym ini lumayan mewah sih buat ukuran saya, letaknya di hotel bintang limadi Jakarta. Biaya keanggotaannya saja seperempat gaji saya sebulan.
“Ik been duizelig, ik heb niet goed geslapen vannacht!”
dengan suara setengah pingsan saya jawab sambil melirik cheese cake yang langsung ditelan meneer Jan. aduh nyesel deh tadi nolak, kelihatannya yummy.
“Het is gevaarlijk, you should take a rest!”
Meneer Jan mengacak-acak rambut saya, kemudian melompat2 kembali mengikuti gerakan sang instruktur, perutnya yang gendut ikut bergoyang menyembul dari kaos hijau army bertuliskan Kadet 09. Niat saya untuk meneruskan berolahraga hilang karena sakit di kepala saya. Langsung saya bereskan tas dan berjalan menuju kamar ganti.
Di dalam mobil saya mencoba menelusuri urutan kejadian bagaimana saya bisa menjadi maniak olahraga. Senin dan Rabu latihan yoga pukul delapan malam, Selasa badminton bareng teman-teman kantor, Jumat Tae bo sekitar 1 jam dan minggu pagi fitness di Gym yang sebelumnya didahului dengan aerobic. Aktivitas yang padat memaksa saya supaya tetap fit dengan cara berolahraga, ditambah lagi penampilan yang bugar terlihat lebih menarik, walaupun badan saya tetap kering kerontang tapi sehat, lagipula teman-teman saya keren-keren jadi minder kalau kelihatannya tidak bugar begitu. Pokoknya segala trend olahraga saya coba. Dari yang aneh-aneh sampai yang standar seperti badminton tadi (sebetulnya semuanya berawal dari gengsi sih, kok teman-teman bisa nyoba gym yang mahal kenapa saya tidak?, lalu dari segi bisnis banyak kenalan, loby dan tender yang bisa didapat dari teman-teman satu gym…hehe tetap jualan).
“Makannya…olahraga sih olahraga tapi yang wajar dong! masa semuanya dicoba. Kaya orang nganggur aja, lagian kamu itu kan sibuk jadinya malah sakit! Emang nya enak kerjaan jadi numpuk, harus stay di rumah..bla..bla..!” Omongan ikan-ikan hiu didepan saya terus bersaut-sautan menyalahkan saya yang kena gejala tifus gara-gara kecapean. Beginilah kalo jadi anak lelaki satu-satunya dikeluarga…semuanya wanita dan jago ngomong…that’s why i called them sharks.
“Loh didalam tubuh yang sehat kan terdapat jiwa yang kuat!”
saya mencoba membantah lagi-lagi dengan suara setengah pingsan. Sementara dengan sedikit kasar one of my sister menarik thermometer dari mulut saya.
“Jiwa yang kuat darimana? Kalo jatohnya malah sakit kaya begini?bukannya gak rela ngurusin, tapi kita kan jadi kuatir kalo elo kenapa-kenapa! Pake segala belajar anggar emang mo jadi zorro?”
“Iya nih…maen badminton kok nggak kenal waktu, liat aja tim Thomas dan uber kita kalah buat apa sih bela-belain latihan badminton, dasar kecentilan!” Keponakan saya (lagi-lagi cewek)juga ikut-ikutan menyerang saya habis-habisan, kalau dipikir-pikir kenapa kamar saya jadi ramai begini yah…jadi tambah pusing deh.
“Yee apa hubungannya ama tim Thomas n Uber?”
“Kenapa musti dihubung-hubungin? Emang rel kereta? Pokoknya kamu sakit tuh cari gara-gara sendiri!”
kali ini ibu saya yang menyerang, sambil menyuapi bubur yang rasanya kok jadi pahit sekali ya?
“ya udah sana pada pergi deh…jadi tambah pusing tahu… kalo rame begini!”
Akhirnya saya berteriak dengan sisa-sisa kekuatan yang saya miliki. Semuanya berhamburan keluar kamar dengan wajah tetap menyalahkan.
“Obatnya jangan lupa diminum!”
kali ini pacar saya yang memberi pesan-pesan terakhir. Sebelum menutup pintu kamar yang terbuat dari kayu mahoni yang diserut.
Akhirnya kamar saya agak sedikit lebih tenang, memberi saya waktu untuk menghayal lagi. Pengin punya badan kaya Rambo kok malah jadi tergeletak begini. Tubuh itu memang perlu kita jaga dengan segala upaya, karena tubuh dititipkan Tuhan untuk dijaga jasmani dan rohani. Tapi segala sesuatu itu ada batasannya tidak boleh berlebihan dan tidak boleh kekurangan, Sambil tersenyum sendiri saya menarik selimut warna biru kuning, dan menepuk bantal agar nyaman. Didekat pintu kamar ada boneka troll seperti mengejek saya yang terbaring tidak berdaya. Di atas lemari saya pajang celana dalam yang sengaja tidak pernah saya pakai. Celana dalam yang saya beli seharga Rp. 442.000,- (hello?) itu memang satu-satunya barang Prada yang saya miliki. Walaupun hanya celana dalam at least di rancang oleh Muccia Prada (hehe). Memikirkan hal itu saya jadi bisa tersenyum lagi. Nanti-nanti kalau Meneer Jan bilang “Dat is te duur!”, saya bisa jawab deh…
“Ik weet , but at least dit is van mij…hehehe!
Jakarta
16 Juni 04
Berakit-rakit ke hulu bersenam-senam di senayan..yuuuk mariiii!....
*Bent U ziek?: Are You Sick?* Ik voel me niet goed: I don’t feel so good* Waar doet het pijn: where does it hurt?*Ik been duizelig, ik heb niet goed geslapen vannacht: I feel kinda dizzy, I don’t sleep well last night* Het is gevaarlijk: it is dangerous*Dat is te duur: That’s too expensive*Ik weet : I know*Dit is van mij: It’s mine
RHAPSODY IN D MINOR
Demi tuhan Frans, kamu ingatkan sisa perjalananku waktu itu? Tinggal pasir Arafah kemudian suhu yang panas melelehkan isi kepala. Tidak lagi membatu, sisa wudhu, ibadah malam, berlari kecil antara Shafa –Marwa, lalu batu kehitaman dari surga. Dia menciptakan sesempurna itu. Bahkan pasir yang basah embun masih terasa lembut di kakiku. Aku memang melihatnya sejelas cahaya yang dipancarkan pada rantai laba-laba waktu pagi. Demi tuhan, kita tidak berarti apa-apa. Dan apapun itu yang kamu bilang sangat berarti tidak lagi punya arti selain aku mengecil dan pasrah dalam genggamannya.
‘ Kamu meninggalkan aku!’ seribu malaikat runtuh, mata birumu bermuara
‘Kamu menyakitiku!’ sejuta badai membumi lantak, mata birumu menjatuhkan hujan
Wajah, gambar, topeng, kanvas, aku dan kamu di seberang. Duduk di kursi kayu (ukiran jogja, aku yang membelinya tahun lalu) menjura diatasnya. Ah..prasangka! bukankah kita juga yang membeli dan memberi nilai bagi apapun menurut standar kita? Lalu siapa yang adil memberi patokan antara berbuat baik dan berbuat benar? Apakah kita berdua disini, di apartemen ini yang sesungguhnya sudah terlalu sibuk menduga siapa yang harusnya memulai persenggamaan otak. Kamu dengan penuh gairah mencumbui bayanganku atau aku yang membalas dengan kecupan, jilatan, hembusan nafas lidah basahmu pada kalbuku?. Kita sama-sama memberi arti dan nilai yang sampai kapanpun tidak akan pernah adil. Kita senggama, kita sengsara...
Frans, badanmu menggigil tetapi basah oleh keringat (kamu marah), aku membeku. Tidak lagi kulihat kebijakan Aristoteles di wajahmu. Padahal kita diajarkan menjadi pemikir yang mengagungkan silogisma dan premis-premis murni yang punya sebab dan akibat. Di luar itu biar saja alam yang mengatur, bukankah Dia ada sebelum semuanya ada? Dan Dia akan tetap ada waktu kita sudah membangkai. Lalu apa artinya semua yang kita anggap penuh arti jika pemberi arti membuat semua yang Dia fana-kan tidak berarti. Aku menggigil dan sekarang kamu membeku.
‘Tuhanku juga Tuhanmu’
Frans, aku tak lagi menginginkan ini. Bahkan sejujurnya aku tidak pernah menginginkan ini selain segala keindahan yang kamu dengung-dengungkan ke telingaku. Berujung sebuah getaran hebat yang dengan angkuhnya kita beri nama cinta. Sementara aku dan kamu bersijingkat, berkucing-kucingan dengan yang maha baik, bahkan saling membelakangi surga di lingkungannya yang berwarna-neka. Demi tuhan kita bergulat pada pemikiran yang bahkan tidak pernah ada dan itu sama artinya dengan berdusta. Siapa yang mendusta dan apa yang didustakan? Kita terpaku-kita membeku
Aku letih, bolehkah untuk sejenak saja atau mungkin selamanya kuhentikan gerakku, menoreh padatkan sedikit saja kebenaran pada sebagian jejak langkahku. Atau memohon ampun lewat doa-doa yang sudah lama tidak terjawab. Dan aku tetap memegang tanganmu, menuntunmu ke tempat yang indahnya sama dan sebangun. Aku yakin kita punya gerak yang sama dan tuhan yang sama untuk meminta. Tak pernah lagi kuhalalkan kamu menjamah selain mushaf indah di meja kerjaku (dan bukannya aku marah). Tak pernah lagi kuhalalkan kamu mencium selain sajadah di ruang tamuku (dan bukannya aku marah), tak pernah lagi ku halalkan kamu memeluk selain hangat cahaya-Nya(dan bukannya aku marah), tak pernah lagi kuhalalkan kamu memuja dan merayu selain dzikir yang mengingat-Nya (dan tidak pernah karena aku marah). Hidup memang belum pernah sejujur ini dalam membalas tapi sakitnya nyata, jauh lebih nyata dari rasa sakit yang kamu bilang kamu rasakan.
Frans, jika dalam kehidupan seribu atau sejuta tahun dari sekarang kita masih tercipta dalam sebuah atom karbon atau molekul lain yang jumlahnya tidak terhitung (dan itu pasti karena rahmat-Nya) aku ingin berterima kasih dan bersyukur karena pernah bertemu ciptaannya yang hampir sempurna yaitu dirimu dan itu pasti. Mata birumu kan tidak pernah berbohong? Lalu kita sama-sama menyanyikan shalawat badar atau mendengungkan puji-pujian selaksa lebah bahkan langit pun bergetar. Lalu aku melihatmu berjalan dalam bentuk lain, rambutmu yang pirang keemasan tertiup angin, berada di barisan orang-orang yang bersyukur dan berhati bersih. Terdengar doa anak-anak kecil yang kamu beri pengobatan gratis. Korban banjir dan tsunami yang kamu tampung dan tanpa jijik kamu obati klukanya yang setengah mengoreng. Kemudian semuanya tersenyum padamu yang tidak pernah tuli dan tidak juga bisu merasakan kesulitannya. Kalau kamu berada di barisan itu aku juga ingin di dalamnya. Kamu mengerti bukan?
‘Tapi kamu meninggalkanku!’ bibirmu bergetar saat mengucap menahan ratap, (bahkan aku tak pernah berniat meninggalkanmu). Lalu kita terdampar di sini, di apartemen ini, sibuk merangkai kekalutan masing-masing. Kamu diam dan aku membeku
‘Tuhan hati kami bersenggama’
Dan aku runtuh menarik kopor penuh pakaian, kemudian melangkah melewati pintu tak akan pernah kuketuk lagi. Aku tahu mata birumu berurai tangis. Dan keindahan itu jauh lebih Indah jika artinya benar-benar memiliki arti dari yang maha memberi arti. Hari memang tidak pernah seindah ini, tapi kenapa aku yang harus lebih dulu membeku..
(Maat taufik ya nurul aini...allah wa yubarrik fik
Juni 03 2004
‘ Kamu meninggalkan aku!’ seribu malaikat runtuh, mata birumu bermuara
‘Kamu menyakitiku!’ sejuta badai membumi lantak, mata birumu menjatuhkan hujan
Wajah, gambar, topeng, kanvas, aku dan kamu di seberang. Duduk di kursi kayu (ukiran jogja, aku yang membelinya tahun lalu) menjura diatasnya. Ah..prasangka! bukankah kita juga yang membeli dan memberi nilai bagi apapun menurut standar kita? Lalu siapa yang adil memberi patokan antara berbuat baik dan berbuat benar? Apakah kita berdua disini, di apartemen ini yang sesungguhnya sudah terlalu sibuk menduga siapa yang harusnya memulai persenggamaan otak. Kamu dengan penuh gairah mencumbui bayanganku atau aku yang membalas dengan kecupan, jilatan, hembusan nafas lidah basahmu pada kalbuku?. Kita sama-sama memberi arti dan nilai yang sampai kapanpun tidak akan pernah adil. Kita senggama, kita sengsara...
Frans, badanmu menggigil tetapi basah oleh keringat (kamu marah), aku membeku. Tidak lagi kulihat kebijakan Aristoteles di wajahmu. Padahal kita diajarkan menjadi pemikir yang mengagungkan silogisma dan premis-premis murni yang punya sebab dan akibat. Di luar itu biar saja alam yang mengatur, bukankah Dia ada sebelum semuanya ada? Dan Dia akan tetap ada waktu kita sudah membangkai. Lalu apa artinya semua yang kita anggap penuh arti jika pemberi arti membuat semua yang Dia fana-kan tidak berarti. Aku menggigil dan sekarang kamu membeku.
‘Tuhanku juga Tuhanmu’
Frans, aku tak lagi menginginkan ini. Bahkan sejujurnya aku tidak pernah menginginkan ini selain segala keindahan yang kamu dengung-dengungkan ke telingaku. Berujung sebuah getaran hebat yang dengan angkuhnya kita beri nama cinta. Sementara aku dan kamu bersijingkat, berkucing-kucingan dengan yang maha baik, bahkan saling membelakangi surga di lingkungannya yang berwarna-neka. Demi tuhan kita bergulat pada pemikiran yang bahkan tidak pernah ada dan itu sama artinya dengan berdusta. Siapa yang mendusta dan apa yang didustakan? Kita terpaku-kita membeku
Aku letih, bolehkah untuk sejenak saja atau mungkin selamanya kuhentikan gerakku, menoreh padatkan sedikit saja kebenaran pada sebagian jejak langkahku. Atau memohon ampun lewat doa-doa yang sudah lama tidak terjawab. Dan aku tetap memegang tanganmu, menuntunmu ke tempat yang indahnya sama dan sebangun. Aku yakin kita punya gerak yang sama dan tuhan yang sama untuk meminta. Tak pernah lagi kuhalalkan kamu menjamah selain mushaf indah di meja kerjaku (dan bukannya aku marah). Tak pernah lagi kuhalalkan kamu mencium selain sajadah di ruang tamuku (dan bukannya aku marah), tak pernah lagi ku halalkan kamu memeluk selain hangat cahaya-Nya(dan bukannya aku marah), tak pernah lagi kuhalalkan kamu memuja dan merayu selain dzikir yang mengingat-Nya (dan tidak pernah karena aku marah). Hidup memang belum pernah sejujur ini dalam membalas tapi sakitnya nyata, jauh lebih nyata dari rasa sakit yang kamu bilang kamu rasakan.
Frans, jika dalam kehidupan seribu atau sejuta tahun dari sekarang kita masih tercipta dalam sebuah atom karbon atau molekul lain yang jumlahnya tidak terhitung (dan itu pasti karena rahmat-Nya) aku ingin berterima kasih dan bersyukur karena pernah bertemu ciptaannya yang hampir sempurna yaitu dirimu dan itu pasti. Mata birumu kan tidak pernah berbohong? Lalu kita sama-sama menyanyikan shalawat badar atau mendengungkan puji-pujian selaksa lebah bahkan langit pun bergetar. Lalu aku melihatmu berjalan dalam bentuk lain, rambutmu yang pirang keemasan tertiup angin, berada di barisan orang-orang yang bersyukur dan berhati bersih. Terdengar doa anak-anak kecil yang kamu beri pengobatan gratis. Korban banjir dan tsunami yang kamu tampung dan tanpa jijik kamu obati klukanya yang setengah mengoreng. Kemudian semuanya tersenyum padamu yang tidak pernah tuli dan tidak juga bisu merasakan kesulitannya. Kalau kamu berada di barisan itu aku juga ingin di dalamnya. Kamu mengerti bukan?
‘Tapi kamu meninggalkanku!’ bibirmu bergetar saat mengucap menahan ratap, (bahkan aku tak pernah berniat meninggalkanmu). Lalu kita terdampar di sini, di apartemen ini, sibuk merangkai kekalutan masing-masing. Kamu diam dan aku membeku
‘Tuhan hati kami bersenggama’
Dan aku runtuh menarik kopor penuh pakaian, kemudian melangkah melewati pintu tak akan pernah kuketuk lagi. Aku tahu mata birumu berurai tangis. Dan keindahan itu jauh lebih Indah jika artinya benar-benar memiliki arti dari yang maha memberi arti. Hari memang tidak pernah seindah ini, tapi kenapa aku yang harus lebih dulu membeku..
(Maat taufik ya nurul aini...allah wa yubarrik fik
Juni 03 2004