Tentang apa rasanya kalau saya adalah terpidana mati yang sudah jelas kapan eksekusinya
Tentang apa rasanya kalau hari ini adalah hari terakhir dalam kehidupan saya
Tentang apa rasanya kalau semua yang berarti jadi tidak berarti dan yang tidak berarti jadi begitu berarti
Tentang apa rasanya kalau saya merasa begitu lemah dan setiap sandaran adalah anugrah
Saya sudah selesai membacanya
Tapi ijinkan sekali lagi saya mengulang bacaannya
Agar tidak ada yang terlewat
Agar maknanya bisa didapat
Setelah itu silahkan bertanya, berulang, dan berulang
Jawabannya tetap sama
"Sudah begitu banyak kesia-siaan menutupi kenyataan yang tidak juga saya mengerti"
BILANGAN FU
JUDUL BUKU: BILANGAN FU
PENGARANG: AYU UTAMI
PENERBIT: KPG
Membaca novel ini, seperti dikembalikan menjadi anak kecil yang buta kata-kata. Sibuk mengartikan apakah kata ’Jirih’- ’Banal’ punya posisi yang bisa disejajarkan dengan kata-kata dalam bahasa indonesia lain yang artinya lebih reaktif. Sensasi yang kurang lebih sama saat saya membaca headline surat kabar LM edisi sabtu 12 juli 08 yang isinya seperti ini:
”AYAH KANDUNG NGEMPRUT ANAK GADISNYA, KAKAKNYA MERGOKIN EH MALAH SI ADIK DIEMPRUT JUGA”.
Kata emprut yang coba saya artikan dengan setubuhi sudah pasti dikarang oleh wartawan berotak tumpul dan sadis tanpa referensi dari manapun. Sementara Ayu tentunya punya banyak referensi kata-kata yang mengajarkan saya sedikit demi sedikit untuk lebih terbuka pada kata-kata baru dan hal-hal baru yang membuat saya Jirih (saya menggunakan terminologinya), membentur-benturkan kesadaran, menjungkirbalikkan keyakinan yang pada akhirnya membuat saya mual dan ingin memuntahkan makian.
Memang sejak awal membaca, pikiran saya seharusnya dibebaskan lebih dulu dari prasangka akan niatan si penulis. Tapi Ayu menurut saya terlalu iblis sekaligus malaikat untuk menulis tanpa tendensi. Sehingga saya terkapar , mengaku kalah dan babak belur prejudice. Saya sudah terlanjur memberi nilai sebelum saya memahami. Saya sudah terlanjur membayangkan bahwa Bibir penulis adalah seringai anjing, tubuh penulis adalah tunas-tunas iblis dan otak pembaca adalah inangnya.
Bilangan Fu adalah bilangan yang ingin ditanam oleh Ayu (tanpa dipaksakan) dalam benak pembacanya untuk dipikirkan ulang. Dia bukan hanya sebuah bilangan tapi ideologi. Ideologi yang terlihat begitu benar untuk dipanggul sekaligus begitu salah untuk diterapkan.
Dan saya tidak sanggup memanggul kebenaran, Jadi jangan salahkan kalau dalam beberapa minggu ke depan pikiran saya akan lebih terganggu dengan bentuk otak Ayu saat orgasme daripada bentuk.....Itil-kuda-laut misalnya.
---Ngobrol-ngobrol detik bareng ayu soal bilangan fu (seriusnyaaaa?) bisa di liat di sini---