Ketika dia berbicara tangannya bergerak-gerak ke berbagai arah, dia laki-laki berwajah seperti titik-titik air hujan yang saya jumpai di tangga Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru. Saat itu pertunjukan tari kontemporer belum lagi dimulai, dan kami menunggu sambil mengunyah kacang rebus.
“Bramford!” , begitu dia sebut tempat lahirnya, saat saya dengan sok tahu menuduhnya orang London. Wajah titik air hujannya mengerut, tampak jelas bintik coklat di ujung hidungnya.
“Ow...Bramford..., must be next to London”, agak asal saya menanggapi dengan Inggris yang comberan. (Mengapa dulu saya tidak kursus di LIA Slipi sih?)
“Never heard it, haven’t you? “, Dia menarik sebuah garis hayal kemudian menunjuk ke beberapa titik.
“Canterbury...Ipswich...Bramford”, Dia tersenyum, matanya biru dan sipit, bukan biru yang seperti biasa dimiliki orang-orang kaukasia. Matanya biru tua seperti kita bisa berkaca di dalamnya.
Saya bertanya tentang tarian, dia bercerita tentang Barre (palang panjang tempat berpegangan penari balet pada saat latihan), tentang keengganan nya keluar dari Corps de ballet (grouping dancer yang biasa menari bergrup-grup mengiringi satu kejadian dalam sekuens cerita tari ballet. Kalian tau kan? Misalnya dalam Swan Lake, di belakangnya Odette itu kan ada bebek-bebek yang menari-nari pada saat odette berubah jadi manusia. Nah Bebek-bebek itu yang disebut corps de ballet), serta tentang rasa malas yang luar biasa saat akhirnya dia memutuskan untuk menghentikan kegiatan melompat, pirouette, lifting, walaupun sering muncul rasa sanguinis seperti saat ini. Saat dimana seseorang bercerita dan bertanya tentang tari.
“This performance we’re about to see, must be very interesting. Had they promised us to witness the miracle of The contemporary dance colaborated with distinctive Jazz Music.”
Saya hanya mengangguk, seingat saya pertunjukan yang akan kami lihat hari itu hanyalah pertunjukan tari balet biasa yang di tarikan oleh wanita-wanita jepang bermuka lucu.
“How do you like dancing”, Saya kembali bertanya
“I’d rather not to be the center of spotlight, if i had to dance. Such lilac fairy in the Sleeping Beauty”. Mata cerminnya menerawang ke langit debu Jakarta. Padahal saya tahu pasti bahwa dia adalah bekas penari balet ternama yang sempat membuat beberapa komposisi ballet di Eropa dan akhirnya tersesat di kota ini.
“I see, like a glimpse of a ray” saya menambahkan.
Waktu baru berjalan beberapa menit dan saya sudah demikian tahu bahwa dia adalah pribadi yang kurang suka menjadi pemain utama. Pribadi yang menolak berbicara soal namanya yang katanya agak aneh, apalagi prestasinya. Pribadi yang mampu menertawakan cerita gelap hidupnya. Pribadi yang memilih berada di kursi penonton bersama saya menyaksikan sebuah cerita absurd tentang orang-orang yang bingung dan di ganggu banyak mimpi buruk.
Sore itu di Gedung Kesenian Jakarta...saya memandang galau panggung dengan tata cahaya minimalis di depan saya. Sedikit demi sedikit saya coba mengobati kekhawatiran saya terhadap hidup saya saat ini. Kemudian meyakinkan diri,
Tidak ada salahnya menjadi penonton...
Tidak ada salahnya menjadi penonton...
0 comments:
Post a Comment